Dinamika Jawa-Islam serta Sosok Haji Angker di Masa Kolonial

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on linkedin
jawa-islam
Sosok para haji di zaman kononial /Foto : nu.or.id

santrikertonyonoDari masa-masa yang terus berganti, perjalanan agama Islam sebagai salah satu keyakinan yang kala itu masih proses perkenalan pun juga mengalami pasang surut bak ombak di lautan. Belum tuntas perjuangan para wali Allah untuk melakukan syiar Islam di tengah gempuran keyakinan terdahulu yakni dinamisme dan animisme, kini para orang-orang pilihan Allah tersebut harus kembali berjuang saat bangsa barat mulai merangsek masuk ke nusantara.

Perdebatan dan pergolakan akhirnya tak bisa dihindarkan. Tak sedikit dari orang-orang berambut pirang itu menjadikan agama Islam sebagai alat memenangkan perpolitikan Indonesia. Berusaha menggaet perhatian beberapa kalangan santri dan priyayi sebagai sebuah upaya yang kerapkali mereka sebut sebagai “kerjasama”.

Jika disebut kerjasama, tentunya kedua belah pihak sama-sama saling diuntungkan. Apabila rugi pun itu juga akan di tanggung oleh kedua belah pihak. Namun bagaimana kondisi Islam saat itu? Apakah Islam benar-benar diuntungkan selama kehadiran orang barat ini ke nusantara?

Disisi lain, propaganda terus menerus dilakukan oleh orang asing semata-mata hanya untuk kesenangan dan keuntungan mereka sendiri. Istilah kerja keras dan menguras hasil bumi nusantara malah menjadikan rakyat kecil menderita. Bak menjadi pembantu di rumah sendiri, barisan kaum Islam mulai merapatkan barisan untuk melindungi keutuhan negara.

Dalam buku yang berjudul “Jawa-Islam di Masa Kolonial” (2020) karya Nancy K. Florida dan diterjemahkan oleh Irfan Afifi ini mengungkapkan fakta baru bahwa sebenarnya tak mengagetkan apabila muncul sebuah istilah “Islam Pribumi” yang lalu menjadi masalah baru bagi para penjajah yang menguasai tanah Jawa kurang lebih pada abad ke -19.

Bahkan, orang-orang berkulit tersebut tak pelak menganggap orang muslim sebagai ancaman potensial kala itu. Kuatnya pertahanan hingga Islam yang dijadikan sebagai pusat kuasa alternatif bagi jutaan orang jajahan merupakan salah satu faktor penghambat dominisasi penjajahan yang dilakukan oleh orang Eropa di tanah Jawa.

Bahkan yang lebih parah, para penjajah itu bersifat denial atau melakukan penolakan terhadap keberadaan Islam. Tak jarang mereka juga mengalihkan serta menyangkal sebuah kenyataan pengakuan umat Islam yang kerapkali diperlihatkan dari ucapan dan tindakan mereka.

Para kolonial juga tak segan masuk ke dalam “ruangan privat” para Islam pribumi hanya untuk mencari-cari kesalahan dalam keyakinan yang mereka anut. Bagaimana tidak? Mereka melakukan hal itu hanya untuk memenangkan sangkaan mereka terhadap Islam Jawa yang dianut oleh masyarakat itu adalah keyakinan yang tidak benar.

Bagi mereka, Islam yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Jawa ini tidak sesuai dengan apa yang diajuarkan dan di warisan oleh Nabi Muhammad SAW. Istilah muslim Jawa “sinkretik” akhirnya muncul, kurang lebih seperti itulah sebutan yang diberikan oleh para penjajah.

Jajaran kolonial dari Eropa itu bahkan meragukan kualitas keislaman yang dianut oleh para penduduk pribumi. Mereka juga membuat sebuah teori bahwa Islam yang dianut adalah Islam yang tidak murni karena telah tercampur dengan kepercayaan lokal yang telah mendarah daging dalam tubuh pribumi.

Islam Menjadi Pusat Atensi Para Kolonial

Masih didalam buku yang sama, salah satu pejabat residen kolonial kota Keraton Surakarta pada tahun 1886 pernah menulis sebuah laporan tahunan pada petingginya di Batavia. Pasalnya, laporan tersebut disusun tak lebih sebagai wujud pemberontakan yang Islam pada waktu itu.

“Dari segi agamanya, penduudk kota ini hanya memiliki lapisan tipis ajaran Muhammad di atas dasar agama Budhhisme dan Saivisme, dan cuma sungguh disayangkan bahwa, berkat sifat mudah tertipu serta bodohnya, mereka (penduduk pribumi) merupakan mangsa jinak bagi orang-orang yang memakai topeng agama untuk menyembunyikan maksud jahatnya.”

Menurut Nancy, menjelang tahun 1880-an, terjadi sebuah tragedi yang merupakan rangkaian dari pemberontakan Islam yang sadar diri atau tak memiliki kaitan dengan pihak lain tengah menyapu area pedalaman Jawa. Mau tak mau, hal tersebut memaksa kaum penjajah untuk meningkatkan “alarm” akan potensi subversif Islam di tanah Jawa.

Namun, di waktu yang bersamaan, para kolonial ini layaknya sengaja menutup mata dan tak mau melihat bahwa Islam politik merupakan wujud dari pemberontakan ini, sebagai bagian dari manusia-manusia Jawa yang juga ikut tergabung didalamnya sebagai satu kesatuan dari sang pemberontak.

Tak berhenti disitu, penjajah asal Eropa ini juga menganggap bahwa islam politik yang tengah melakukan pemberontakan tak lebih dari sebuah polusi yang berasa dari luar nusantara. Dianggap sebagai sesuatu hasil dari impor asing yang ikut dibawa pulang ke tanah Jawa oleh para haji dari tanah suci.

Esensi politik Islam yang dibawa dari tanah suci kerapkali dianggap sebagai Islam yang gersang dan asing, dan tentunya juga dianggap berbeda dan tidak cocok bila diterapkan di Indonesia yang masyarakatnya identik dengan nilai damai yang telah dimanfaatkan oleh para kolonial sebagai subjek jajahan bagi mereka.

Namun, ancaman terus berlanjut diam-diam mengendap bak siap menyergap pemerintah kolonial. Islam pribumi yang dikenal sebagai masyarakat cinta kedamaian bisa saja “tertular” oleh Islam Arab-Turki yang telah dianggap “asing”. Penyakit fanatisme terhadap agama lambat laun menjadi momok tersendiri yang akan dihadapi secara nyata.

Kedatangan Islam yang dinilai fanatik tak lain merupakan kekuatan besar yang bisa mengancam kedudukan kolonial. Mungkin, secara kasat mata mereka akan bertindak dan berperilaku layaknya seorang muslim biasa. Tapi siapa yang tahu? Jika Islam yang akhirnya dinilai sebagai sang kekuatan gaib tiba-tiba merubah para pribumi menjadi revolusioner yang berbahaya.

Bahkan terdapat satu moment dimana Islam juga dipandang memiliki fungsi sebagai sebuah titil pusat identitas yang secara tidak langsung melambangkan perlawanan terhadap pemerintah kolonial yang kala itu mayoritas beragama Kristen. Namun, bagi umat Islam, pemerintah di bawah keyakinan Kristen tak lain adalah pemerintah kafir yang harus dilawan.
Salah satu artikel berjudul “Islam pada Masa Awal Penjajahan Belanda” (2018) yang ditulis oleh Rizal Mubit juga menegaskan betapa besar ketakutan para penjajah khususnya penjajah Belanda saat menghadapi perlawanan demi perlawanan yang muncul di nusantara.

Semakin besarnya kekuatan Islam pada masa itu, seakan memaksa Belanda untuk membuka kajian di seluruh lembaga pendidikan negeri Belanda hanya untuk mempelajari Islam secara mendalam. Hal tersebut semata-mata di lakukan oleh Belanda untuk mencari jalan keluar guna merebut dan menguasai Indonesia.

Sosok Haji Angker

Tabir ketakutan para kolonial terhadap barisan kaum Islam juga nampak disajikan oleh Nancy dalam tulisannya, merujuk pada novel Hindia Belanda karya Louis Couperus yang berjudul “The Hidden Force” pada peralihan abad ke-20. Jika dilihat, novel tersebut menguak kemustahilan sebuah proyek kolonial atas Jawa serta menceritakan kelumpuhan yang menimpa seorang pejabat sipil Belanda.

“Betapa ‘baiknya’ ia menunaikan tugas kolonialnya, di hadapan ‘kekuatan ghaib’ yang begitu dahsyat itu, kekuatan yang berdetak pelan dalam ‘ruang gelap’ kebudayaan pribumi, ia tak berdaya.”

Secara tegas, tulisan Couperus seakan menunjukkan tentang identifikasi rapuh diantara dua hal yang berbeda yakni antara esensi dari kejawaan yang cenderung dipandang mistik dengan sebuah kekuatan berbahaya yang biasa disebut Islam politik.

Selain itu, pada paragraf-paragraf terakhir yang ditulis oleh Couperus juga menunjukkan adanya kerapuhan diantara misteri pribumi dan Islam. Kisah-kisah tersebut disusun oleh Couperus hingga membentuk kisah baru yang indah tapi juga menakutkan, khususnya bagi para kolonial. Apalagi jika ditambah dengan bangkitnya Islam “fanatik” di Jawa, sebuah paket mimpi buruk untuk para penjajah.

Kisah baru atau adegan indah namun menakutkan itu terjadi langsung dan disaksikan sendiri oleh Couperus di salah satu stasiun kereta api. Sang penulis novel ini melihat secara gamblang bagaimana sebuah lautan manusia Jawa membentuk kerumunan nan ramai yang saling berdesakan.

Mengapa mereka berdesakan seperti itu? Apakah mereka sedang menunggu seseorang? Atau tengah memperebutkan sesuatu? Penampakan itu benar adanya. Para pribumi itu berdiri hingga rela berdesak-desakan hanya untuk berebut mencium tangan dan mencium jubah para haji yang baru saja pulang dari Mekah.

Para haji yang baru turun dari gerbong kereta itu memang orang pribumi, namun pribumi yang sedikit berbeda dengan pribum lainnya, mungkin seperti itulah mata kolonial melihat para haji itu. Bagi pribumi, kedatangan para haji adalah suatu keberkahan yang tidak boleh dilewatkan. Namun bagi kolonial, haji-haji itu hanyalah seorang pribumi yang terlalu sombong, terlalu mulia dan terlalu menunjukkan kebanggaan.

Deretan kisah yang diceritakan oleh Couperus bisa dikatakan merupakan sebuah gambaran sosok haji angker yang memiliki senyum seringai itu. Bahkan dengan kekuatannya yang tak terlihat itu, haji angker mampu menarik atensi para pribumi dan terlihat berbeda nan unggul di tengah-tengah kerumunan lautan manusia yang “fanatik”.

Jika semakin ditelisik, sungguh kenampakan Islam di Jawa merupakan gambaran yang sangat nyata namun tetap saja tidak ingin dilihat oleh para mata kolonial. Mereka memang sengaja menutup mata akan kekuatan potensial yang dimiliki Islam, khususnya Islam di tanah Jawa.

Namun, ketakutan dan kecurigaan kaum kolonila terhadap Islam tak sampai disitu saja. Semakin lama kecurigaan mereka semakin membesar hingga menganggap kemunculan Islam merupakan kenyataan yang berbahaya. Islam dianggap sebagai kekuatan yang bisa muncul kapanpun dan dimanapun.

 

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on linkedin

SERING DIBACA

IKUTI KAMI