Dijuluki Kota Kaki Gunung, Benarkah Magetan Punya Hubungan Istimewa dengan Mataram Islam?
- September 22, 2022
- 9:36 pm

Santrikertonyono-Kabupaten Magetan memiliki letak geografis yang unik, dimana kabupaten ini berada tepat di kaki dan lereng Gunung Lawu. Hamparan sawah dan tanah subuh semakin menambah ciri khasnya hingga mendapatkan julukan kota kaki gunung.
Terletak di bawah kaki gunung dengan ketinggian 3.265 mdpl, Kabupaten Magetan dianugerahi keindahan alam dan wisata yang mengagumkan.
Beberapa diantaranya cukup terkenal dan masih menjadi destinasi wajib yang harus dikunjungi, yakni Telaga Sarangan.
Telaga ini juga berada di lokasi yang cukup strategis tepatnya di jalur wisata Magetan-Sarangan-Tawangmangu-Karanganyar.
Tak hanya mengantongi aset dengan wisata alam yang indah, Kabupaten Magetan juga memiliki perjalanan sejarah penting yang konon erat kaitannya dengan Kerajaan Mataram Islam di tahun 1588 hingga 1681 Masehi.
Namun, ada versi lain yang menyebutkan bahwa asal-usul penamaan Magetan berhubungan dengan kedatangan seorang sastrawan Jawa asal Belanda Dr. Theodoor Gautier Thomas Pigeaud, yang kala itu berkunjung ke Pulau Jawa.
Dalam buku “Antara Lawu dan Wilis” karya Christoper Reinhart (2021), asal-usul nama Magetan disinyalir berkaitan dengan istilah Kamagetan.
Dalam hal tersebut, Pigeaud berpendapat bahwa Kamagetan atau Magetan tampaknya dikaitkan dengan istilah kata kuno yakni pameget.
Jika dilihat dari sudut pandang bahasa Jawa kuno, Kamagetan sendiri memiliki makna perumahan atau dalem yang cukup besar. Terlepas dari hal itu, Magetan sama denga kota-kota di lereng Gunung Lawu yang lain.
Magetan merupakan pusat kebudayaan pada zaman kuno yang dapat dibuktikan dengan adanya penemuan candi dan beberapa peninggalan sejarah yang lain.
Meskipun demikian, ada yang mengganjal di benak Pigeaud. Tepatnya di lereng Gunung Lawu yang kini telah menjadi wilayah Magetan malah tidak ditemukan suatu peninggalan sejarah dan monumental dari masa runtuhnya Kerajaan Majapahit, yang tentu juga menjadi pertanyaan yang cukup besar bagi beberapa sejarawan.
Namun, Pigeaud berasumsi bahwa kemungkinan besar Kabupetan Magetan atau lebih tepatnya di Desa Sadon merupakan sebuah permukiman.
Daerah tersebut diduga kuat bekas kediaman pertapa pada zaman Hindu-Jawa. Asumsi lainnya adalah kediaman ini berasal dari abad ke-11 dan di tinggalkan atau lenyap pada abad ke-16.
Disisi lain, beberapa sumber meyakini bahwa lahirnya Kabupaten Magetan tak bisa dilepaskan dari konflik di Kerajaan Mataram. Bahkan, nama Magetan sendiri konon berasal dari sosok pria yang pada zaman itu memberikan tanahnya kepada kerabat Keraton Mataram.
Sejarah Kabupaten Magetan memang sudah dimulai sejak masa kejayaan Kerajaan Mataram Islam. Sebelum berbentuk kabupaten seperti sekarang ini, Magetan sudah disebut-sebut sebagai daerah mancanegara Kerajaan Mataram Islam.
Kisah Magetan dalam Babad Jawa
Namun, daerah Magetan sendiri sebenarnya sudah ada sejak masa Kerajaan Kediri. Hal itu bisa dibuktikan dengan beberapa penemuan artefak serta sisa-sisa peribadatan umat Hindu seperti candi dan beberapa pertirtaan.
Lebih dari itu, Magetan nyatanya juga telah dihuni oleh manusia sejak abad ke-12 dengan beberapa bukti yang berhasil ditemukan.
Bukti-bukti tersebut semakin diperkuat dengan penemuan beberapa prasasti yang menggunakan aksara Kawi. Gaya penulisannya pun dinilai cukup khas karena menggunakan penulisan kawi kwadrat yang identik dengan masa-masa Kerajaan Kediri pada tahun 1104 hingga 1222 Masehi.
Secara umum, penyebutan sejarah Magetan yang tak bisa dilepaskan dari Mataram Islam banyak ditemukan di dalam naskah Babad Jawa. Karena sebelumnya hanya daerah mancanegara Kerajaan Mataram Islam, akhirnya pada masa setelah Sultan Agung Hanyakrakusuma, Magetan baru dibentuk sebagai kabupaten.
Kala itu, kenaikan takhta Sultan Amangkurat I pada tahun 1646 untuk menggantikan Sultan Agung yang wafat pada tahun 1645 nyatanya malah membuat Kerajaan Mataram semakin lemah. Lantas, diperburuk dengan adanya perjanjian yang dibuat oleh Amangkurat I bersama VOC.
Perjanjian yang dibuat pada tahun 1646 tersebut semakin membuat kongsi dagang Belanda ini leluasa untuk memperkuat diri dan memperluas pengaruhnya ke beberapa wilayah Kerajaan Mataram Islam.
Bahkan, pelayaran perdagangan semakin lama juga semakin dibatasi, hingga dilarang berdagang ke Pulau Banda, Ambon, dan Ternate.
Dilansir dari suarajatim.id, peristiwa-peristiwa kemunduran itu menyebabkan tumbuhnya anggapan negatif terhadap Sultan Amangkurat I khususnya di kalangan keraton, terlebih di pihak oposisi.
Apalagi, sang putra yakni Adipati Anom yang kelak bergelar Sultan Amangkurat II juga tak pernah sepakat dengan gaya kepemimpinan sang ayah.
Berbagai rangkaian peristiwa yang terjadi di pusat pemerintahan Kerajaan Mataram Islam nampaknya selalu diperhatikan dengan seksama oleh daerah mancanegara yang lain.
Begitu pula Pangeran Giri yang dikenal sangat berpengaruh di wilayah pesisir utara Pulau Jawa mulai bersiap-siap untuk melepaskan diri dari kekuasaan Mataram Islam.
Pada masa itu, seorang pangeran asal Madura yang bernama Trunojoyo merasa sangat kecewa dengan pamannya yakni Pangeran Cakraningrat II yang dianggap telah mengabaikan Madura dan hanya memilih untuk bersenang-senang di pusat pemerintahan Mataram Islam.
Tak terima dengan hal itu, akhirnya Trunojoyo melancarkan pemberontakan ke Mataram pada tahun 1647. Tak tanggung-tanggung, pemberontakan itu mendapat dukungan dari beberapa orang di Makassar.
Di sisi lain, kerabat Keraton Mataram yakni Basah Bibit atau Basah Gondo Kusumo dan Patih Nrang Kusumo yang tak lain Patih Mataram dituduh bersekutu dengan para ulama oposisi dengan menentang kebijaksanaan Sultan Amangkurat II.
Atas tuduhan tersebut, Basah Gondokusumo akhirnya diasingkan ke Gedong Kuning, di daerah Semarang selama kurang lebih 40 hari.
Ia tinggal di kediaman kakeknya yang bernama Basah Suryaningrat. Sedangkan Patih Nrang Kusumo meletakkan jabatannya dan kemudian memilih pergi bertapa ke daerah Gunung Lawu sebelah timur.
Pengasingan Basah Gondokusumo dan Sang Kakek
Di dalam pengasingannya ini, Basah Gondokusumo dan Basah Suryaningrat lantas pergi ke daerah sebelah timur Gunung Lawu yang kala itu tengah diadakan babad hutan oleh Ki Buyut Suro atau Ki Ageng Getas.
Pasalnya, babat hutan ini sebelumnya atas dasar perintah Ki Ageng Mageti yang hingga kini dikenal sebagai cikal bakal Kabupaten Magetan.
Mengetahui hal itu, Gondokusumo dan sang kakek berniat meminta sebidang tanah yang nantinya akan difungsikan sebagai tempat bermukim.
Dengan perantara Ki Ageng Getas, Gondokusumo dan sang kakek menemui Ki Ageng Mageti di kediamannya di Dukuh Gandong Kidul.
Hingga kini, masyarakat Magetan percaya bahwa kediaman yang dimaksud itu berada di sekitar alun-alun Kota Magetan saat ini.
Hasil dari pertemuan itu pun tak sia-sia, Basah Suryanigrat berhasil mendapat sebidang tanah di sebelah utara Sungai Gandong, yang kini berada di Kelurahan Tambran Kecamatan Kota Magetan.
Namun, Suryaningrat tak terima dengan pemberian tersebut hingga terjadi pedebatan yang cukup panjang.
Di ujung perdebatan membuat Ki Ageng Mageti akhirnya mengetahui bahwa sosok Basah Suryaningrat tak lain merupakan sesepuh Mataram yang saat itu tengah membutuhkan tanah.
Sebagai bentuk kesetiaannya kepada Kerajaan Mataram Islam, Ki Ageng Mageti lantas memberikan seluruh tanahnya kepeda Basah Suryaningrat.
Setelah mendapatkan tanah persembahan, tanah tersebut lantas dijadikan tempat dan wilayah baru.
Lalu, Basah Suryaningrat menunjuk Basah Gondokusumo sebagai penguasa dengan gelar Yosonegoro.
Peristiwa pelantikan tersebut terjadi pada tanggal 12 Oktober 1674 yang dikenal dengan condrosenggolo “Manunggaling Roso Suko Hambangun”.
Atas jasa-jasa Ki Ageng Mageti, wilayah tersebut kemudian di beri nama Magetan.
Wilayah Magetan terpotong oleh jalur sungai Gandong dan menjadi dua bagian, yakni mulai dari pangkal sumber di bawah Cemorosewu, Gunung Kendil dan Gunung Sidoramping.
Konon, sungai ini merupakan jalur bersejarah yang penuh dengan misteri karena banyak ditemukan makam-makam jaman kuno.
Baca juga
- Lahir Rabu Kliwon, Anies Baswedan Masuk Circle Weton Presiden
- Kisah Unik Wan Sehan di Rumah Anies Baswedan
- Makna Lakon Wayang Kulit Bima Suci Buat Anies Baswedan
- Ungkapan Anies Baswedan untuk Kondang Sutrisno: Selamat Jalan Pejuang
- Peran Alim Ulama dalam Merekatkan Kembali Kesadaran Berbangsa dan Bernegara