Dianggap Batu Sandungan, Pemerintah Belanda Tarik Pajak Potong Bagi Hewan Qurban
- Juli 6, 2022
- 1:55 am

Sudah bukan menjadi rahasia umum lagi apabila Pemerintah Kolonial Belanda begitu was-was jika menghadapi perihal ajaran dan pengikut Islam di Jawa. Islam yang begitu banyak pengikut, tradisi, hingga ajaran-ajarannya bahkan dianggap sebagai ancaman keberadaan Belanda di Indonesia.
Belum lagi banyaknya sosok ulama atau kiai yang tiba-tiba tampil menjadi pemimpin dalam misi pemberontakan kepada kolonial. Meskipun rata-rata orang yang ikut berperang hanya kalangan santri dan petani, namun dibawah kepemimpinan ulama, peperangan melawan penindasan bisa berbuah manis.
Seperti tak kekurangan akal, Belanda mengeluarkan beberapa peraturan yang dinilai menghambat kegiatan umat Muslim di Nusantara. Mulai dari aturan penetapan pajak potong bagi hewan-hewan kurban, aturan pendidikan bagi guru agama, serta pembatasan jumlah jamaah saat shalat Idul Fitri.
Saat memasuki hari-hari besar Islam, Pemerintah Belanda bisa melihat secara langsung antusiasme umat Islam yang begitu besar. Meskipun Indonesia ini dipisahkan oleh laut-laut yang luas, namun kekompakan dan gotong royong dalam satu tujuan begitu kuat bagi sesama hamba Allah.

Kurang lebih pada abad ke-19, Pemerintah Belanda yang selalu merasa terancam dengan keberadaan Islam ini tiba-tiba menggodok sebuah peraturan baru yang secara khusus mengatur tentang adanya penarikan pajak bagi hewan kurban yang akan disembelih atau dipotong.
Jauh sebelumnya, Belanda tertegun melihat kegigihan dan semangat umat Islam, khususnya di Jawa yang begitu ikhlas untuk menyisihkan sebagian harta mereka. Padahal, rata-rata diantara mereka hanyalah seorang petani yang bekerja di sawah atau sebatas pekerja biasa.
Namun, mereka mempunyai tekad untuk berbagi dengan membeli hewan kurban agar bisa dipotong dan dan dibagi-bagikan kepada masyarakat yang lain. Melihat kejadian ini, lagi-lagi Belanda merasa terancam. Dan niatan umat Muslim untuk berkurban harus di ganjal.
Kabar tentang rencana Belanda ini pun menyebar luas hampir ke seantero Nusantara. Dimana, peraturan tersebut dinilai memberatkan umat Islam. Berbagai lembaga dan organisasi Islam seperti Nahdlatul Ulama, Majelis Islam A’al Indonesia (MIAI) termasuk mulai menentang terhadap peraturan tersebut.
Penolakan demi penolakan dilakukan, bahkan gema suara penolakan ini mulai dimunculkan saat kongres pertama yang digelar pada 26 Februari hingga 1 Maret 1938 di Surabaya. Belum lagi berbagai perlawanan dan penolakan dari masyarakat yang terjadi di beberapa titik di Indonesia.
Atas peraturan itu, pemberontakan rakyat pecah di Nusa Tenggara Barat dan Sumatera. Kurang lebih dengan alasan yang sama, mereka marah dan tak terima apabila Pemerintah Kolonial Belanda mulai mengusik segala urusan keyakinan yang dianut masyarakat Indonesia, salah satunya Islam.
Penarikan Pajak Untuk Membatasi Aktifitas Warga
Pemberontakan-pemberontakan besar yang terjadi d beberapa titik tidak membuat Pemerintah Belanda gentar, mereka malah mengirimkan ratusan pasukan dari Batavia untuk menumpas peperangan di daerah-daerah. Pribumi bak kalah jumlah dan kalah alat peperangan, tak sedikit dari masyarakat Indonesia yang kalah dan di pukul mundur oleh Belanda.
Jika ditelisik, pajak memang sudah menjadi hal yang wajib diberlakukan oleh Pemerintah Belanda kepada masyarakat Indonesia, hampir segala lini kegiatan ekonomi pun dikenai pajak. Jadi sebenarnya pemberlakuan pajak di Nusantara sudah bukan hal yang asing.
Namun nyatanya penarikan pajak untuk pemotongan hewan kurban menyulut amarah dari berbagai kalangan. Pemerintah Belanda dinilai terlalu ikut campur dan sengaja mengambat kegiatan umat Islam dengan berbagai peraturan yang dikeluarkan.
Beberapa praktisi sejarah bahkan menyebut penarikan pajak terhadap hewan kurban merupakan sikap yang sangat keterlaluan, yang tentunya mengganggu keberlangsungan ibadah masyarakat Muslim. Besaran pajak yang ditetapkan pun untuk bervariasi, dengan menggunakan Gulden atau mata uang Belanda.
Kala itu, Pemerintah Belanda berdalih bahwa penarikan pajak semata-mata demi kepentingan Nahdlatul Ulama dan umat Islam secara keseluruhan. Namun salah satu organisasi Islam terbesar ini menampik dan segera melakukan koordinasi komunikasi kepada pihak Belanda agar penarikan pajak terhadap pemotongan hewan kurban bisa segera dibatalkan.
Usaha itupun berbuah manis, setelah mendapat penolakan dari masyarakat umum hingga organisasi Islam, peraturan yang berkaitan tentang penarikan pajak bagi pemotongan hewan kurban akhirnya dihapus dan dihilangkan. Tepat pada tanggal 29 April 1938, warga yang hendak berkurban tidak lagi dikenakan pungutan pajak.

Namun, hal yang harus di garisbawahi adalah penyembelihan hewan kurban harus dilengkapi dengan surat keterangan yang dikeluarkan secara resmi oleh Pemerintah Belanda. Nantinya, perwakilan dari mereka akan secara menghadiri prosesi penyembelihan hewan kurban.
Perwakilan dari Pemerintah Belanda inilah yang bertugas untuk melakukan pengawasan selama pemotongan hewan kurban berlangsung. Mereka dilarang untuk ikut campur atau mengusik proses pemotongan karena pada peraturan yang telah disahkan, para perwakilan ini hanya bertindak sebagai pengawas.
Jejak Jasa Organisasi Islam dalam Penghapusan Pajak Hewan Kurban
Penarikan pajak terhadap hewan kurban yang hendak dipotong menjadi perhatian khusus masyarakat Indonesia terutama dua organisasi Islam terbesar yakni Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Selain memberatkan, peraturan tersebut dianggap “nglunjak” karena sebelumnya Pemerintah Belanda telah banyak menarik pajak dari lini kegiatan ekonomi yang lain.
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama kala itu mengirim sebuah surat kepada Pemerintah Belanda untuk membatalkan penarikan pajak. Bak gayung bersambut, tak lama, surat tersebut mendapat balasan yang berisi pengabulan atas penghapusan peraturan pajak bagi hewan kurban.
Salah satu kutipan surat yang dikeluarkan oleh Pemerintah Belanda berbunyi “Bahwa dengan besluit pemerentah tg. 14 boelan April ini (Nr (Staatsblad 174)) telah ditetapkan, bahwa oentoek menjembelih chewan goena qoerban pada hari idil Qoerban, dibebaskan dari pembajaran (slachtbelasting) oentoek dapat kebebasan beja itoe, lebih doeloe haroes diminta seboeah soerat keterang Bestuur itoe soerat keterangan bolehnja diberikan,”
Perjuangan Muhammadiyah dalam menentang peraturan Belanda juga patut di apresiasi. Jika Nahdlatul Ulama mengecam melalui surat, Muhammadiyah pun mengeluarkan sebuah statement yang dipublikasikan melalui surat kabar “Soeara Ra’jat No. 19, Thn. II: 04 Juni 1938”.
Salah satu kutipannya berisi “Maka berama ini saja perma’loemkan kepada Hoofdbestuur Moehammadijah bahwa dengan besluit Pemerintah tanggal 14 boelan April no. 1 (Staatsblad no. 174) telah ditetapkan bahwa oentoek menjembelih chewan goena qoerban pada hari ‘Ied al Qoerban, dibebaskan dari pembajaran beia (slachtbelasting)”.
Peran dua organisasi Islam yang terus mengawal peraturan Pemerintah Belanda terkait pembenanan pajak agar segera di hapus memang luar biasa. Perjuangan yang ditorehkan semata-mata untuk kepentingan dan kemakmuran umat Islam di Nusantara.
Meskipun tak bisa dipungkiri, terkadang masyarakat muslim sering terhimpit dan bahkan dirugikan dengan peraturan-peraturan yang dinilai tak masuk akal yang dibuat oleh Belanda. Namun, disinilah kekompakan dan gotong royong umat Islam sedang diuji.
Jika dimaknai lebih dalam, peristiwa ini secara tidak langsung menunjukkan kuatnya ormas-ormas Islam dalam memainkan peran penting di dalam ranah pemerintahan. Dampaknya pun tak hanya bisa dirasakan oleh segelintir orang, namun seluruh masyarakat Indonesia tanpa memandang latar belakang ras, suku, dan budaya.
Apabila seluruh organisasi Islam mampu bekerja sama dengan baik dengan satu komando dan satu tujuan semata-mata untuk kepedulian kepada umat, maka tantangan sebesar apapun yang akan dihadapi pasti mampu menemukan solusi-solusi terbaik.
Baca juga
- Lahir Rabu Kliwon, Anies Baswedan Masuk Circle Weton Presiden
- Ungkapan Anies Baswedan untuk Kondang Sutrisno: Selamat Jalan Pejuang
- Peran Alim Ulama dalam Merekatkan Kembali Kesadaran Berbangsa dan Bernegara
- Kisah Unik Wan Sehan di Rumah Anies Baswedan
- Makna Lakon Wayang Kulit Bima Suci Buat Anies Baswedan