Diadaptasi dari Mitos Dewi Nawang Wulan, Tradisi Ledug Suro Kini Populer di Magetan

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on linkedin
Mitos Dewi Nawang Wulan,Tradisi,Ledug Suro,Magetan,nguri-uri, sejarah,santrikertonyono,gendingan
Kue bolu yang disusun hingga menyerupai seperti bedug pada Perayaan Ledug Suro /Foto: okezone.com

SANTRI KERTONYONO – Letak geografis Kabupaten Magetan yang pernah menjadi wilayah dari beberapa kerajaan besar sudah pasti juga menyimpan peninggalan sejarah dan kebudayaan yang beragam. Potensi ranah kebudayaan dan tradisi local yang dimiliki Kabupaten Magetan tak lepas dari bentang alam dan sumber dayanya.

Salah satu peninggalan budaya di Kabupaten Magetan adalah Ledug Suro atau Ledhug Suro berasal dari akronim lesung dan bedug, merupakan ritus tahunan yang biasanya digelar untuk menyambut tahun baru Islam. Tradisi ini rutin di gelar di Alun-Alun Magetan dengan jangka waktu berhari-hari dan dimeriahkan oleh beberapa rangkaian acara lainnya.

Sejak dicetuskan pertama kalo oleh salah satu budayawan bernama Mamiet Slamet pada tahun 2003, tradisi ini mulai rutin digelar. Terlebih, di era perkembangan zaman seperti sekarang ini, warisan budaya seperti Ledug Suro perlu di lindungi dan di budidayakan agar menjadi pengingat para generasi muda kepada leluhurnya.

Dalam jurnal “Tradisi Ledug (Lesung Bedug) Suro dalam Perspektif Strategi Kenusantaraan di Magetan” dari Dea Lunny Primamona, tradisi menabuh lesung sendiri sudah menjadi budaya nenek moyang yang lestari dan turun temurun.

Di saat-saat tertentu, para ibu-ibu bersama masyarakat setempat akan menabuh lesung lengkap dengan menyanyikan lagu-lagu daerah. Masyarakat Kabupaten Magetan sendiri sangat mempercayai adanya mitos Buto Kala, yakni cerita rakyat tentang adanya raksasa jahat yang bisa memakan bulan.

Tak sedikit masyarakat Kabupaten Magetan yang mempercayai jika tidak menabuh lesung, maka langit akan berubah menjadi gelap dan tidak aka ada cahaya sedikitpun dari bulan. Apabila bulan hanya terlihat separuh maka itu menandakan bahwa bulan telah dimakan raksasa. Dengan menabuh lesung, mereka percaya bahwa bulan akan hilang dengan perlahan.

Secara umum, lesung terbuat dari kayu yang memiliki panjang kurang lebih 1,5 meter dan lebar 0,5 meter. Dilengkapi dengan dua lubang, masing-masing berbentuk bulat dan sisi lain berbentuk lonjong memanjang.

Kedua lubang tersebut juga memiliki fungsi, pada lubang dengan bentuk memanjang digunakan untuk padi yang masih dalam keadaan utuh dengan tangkainya, biasanya lubang ini berfungsi untuk merontokkan padi.
Sedangkan yang bulat dikhususkan untuk padi yang sudah lepas dari batang tangkainya, fungsinya untuk mengupas padi dari kulitnya.

Lesung dan alu atau alat yang digunakan untuk menumbuk digunakan untuk mengolah padi. Peralatan lainnya ada piranti tampah yang berfungsi untuk mengayak dan memisahkan padi yang telah terkelupas dari kulitnya dengan yang belum.

Tradisi dan Budaya saat Menanam Padi

Dalam budaya agraris di Kabupaten Magetan, upacara menanam padi ini masih cukup eksis. Salah satunya yakni tradisi methil, sebuah ritual pemotongan padi yang dilakukan di tengah lahan dengan cara menggendong baskom yang sebelumnya sudah diisi dengan lima takir cok bakal. Hal itu dilakukan semata-mata untuk memohon keselamatan dan rasa syukur kepada Dewi Sri.

Disisi lian, lesung juga digunakan bak instrument musik sebagai hiburan masyarakat khususnya ibu-ibu yang telah bersusah payah bekerja di ladang. Dengan pola yang sudah dibakukan, dan gendhing yang khas ibu-ibu dengan formasi 6 orang ini akan melantunkan musik dan lagu dengan seirama.

Ledhug suro hingga kini masih dianggap sebagai sau-satunya wadah yang dapat melestarikan keberadaan kesenian lesung. Tabuhan pada lesung juga bisa difungsikan sebagai pertanda bahwa ada seseorang yang akan menggelar hajatan pernikahan.

Teknik dalam menabuh lesung ini pun juga tidak bisa sembaranga. Ada teknik-teknik khusus yang harus dilakukan seperti teknik nitir dn teknik njengglung. Di dalam istilah karawitan Jawa, teknik tersebut mirip dengan fungsi alat musik gong.

Karena dampak dari kemajuan zaman, kini ledhug suro dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan pakem permainan lesung secara konservatif. Pasalnya, ada beberapa pola jalinan bunyi yang masih mudah diingat dan dimainkan.

Beberapa pola tersebut seperti kupu tarung, grajagan, kutut manggung, semplak jaran, dan blendhrong yang biasanya dimainkan saat gerhana tiba. Saat akan mengadakan pagelaran wayang, maka akan memainkan pola wayangan. Serta pola lainnya seperti dulhenteng, ngudang anak, titir ilang, blulug jeblog, dan sebagainya.

Mitos Dewi Nawang Wulan,Tradisi,Ledug Suro,Magetan,nguri-uri, sejarah,santrikertonyono,gendingan
Perayaan Ledug Suro ini terdapat juga ritual Ngalub Berkah Bolu Rahayu, yang dipercaya membawa rejeki bagi masyarakat sekita /Foto: indonesia-tourism.com

Sedangkan, pola jalinan bunyi yang bisa dimainkan, bisa disesuaikan dengan beberapa lagu seperti padang rembulan, Magetan ngumandhang, prau layar, serta lagu-lagu yang lainnya.

Keberadaan lesung di Kabupaten Magetan berawal dari kisah Dewi Nawang Wulan. Dalam mitosnya, Dewi Nawang Wulan menggunakan kekuatan magis untuk mengubah padi menjadi beras secara langsung hanya dengan cara memasukkannya ke dalam sebuah wadah atau gerabah.

Namun, beberapa hari kemudian apa yang dilakukan oleh Dewi Nawang Wulan dipergoki oleh suaminya sendiri, hal itu lantas mengakibatkan ia kehilangan kekuatan spiritualnya. Sejak saat itulah, Dewi Nawang Wulan harus Kembali mengolah padi secara manual layaknya manusia biasa.

Ia harus menggunakan lesung untuk mengolah padi. Lalu, beras yang dihasilkan baru bisa dimasak agar menjadi nasi yang siap di konsumsi.

Rangkaian Acara Ledug Suro

Dalam acara Ledug Suro juga diramaikan dengan musik dan lagu-lagu tradisional setempat dengan menggunakan perpaduan alat musik lesung dan bedug. Namun, penggunaan alat musik lainnya juga tetap digunakan untuk mendukung harmonisasi nada yang dikeluarkan.

Festival musik ledug ini biasanya digelar satu minggu menjelang datangnya tanggal satu suro. Meskipun begitu, festival ini juga digelar pada acara-acara penting seperti salah satunya saat Hari Ulang Tahun Magetan yang jatuh pada bulan Oktober.

Pasar suro juga ikut meramaikan rentetan acara dari ledug suro ini, banyak masyarakat yang menjajakan makanannya dan aneka produk khas Magetan. Di gelar secara khusus pada bulan suro, pasar ini selalu padat dengan warga atau pengunjung yang ingin membeli atau hanya sekedar memanjakan mata.

Namun, rangkaian acara ledug suro ini harus diawali dengan kegiatan malam tirakatan yang digelar pada malam suro atau malam sebelum tanggal satu suro. Sebenarnya acara ini bisa ditinjau dari dua sisi, masing-masing dari sisi keagamaan dan dari sisi kepercayaan atau kejawen.

Sedangkan dalam pelaksanannya, ritus dua budaya ini dijalankan secara bergantian. Adanya aliran agama dan kebudayaan ini juga bisa menggambarkan tentang adanya toleransi beragama sekaligus penghormatan yang ditujukan untuk leluhur.

Rangkaian acara berikutnya ada arak-arakan atau pawai yang lebih dikenal dengan istilah Kirab Nayoko Projo, yang selanjutnya akan digelar andum berkah bolu rahayu. Prosesi ini tentunya melibatkan banyak orang dan instansi daerah, mulai dari Pemerintah Kabupaten Magetan hingga para seniman.

Andum berkah bolu rahayu bisa disebut merupakan bagian dari puncak acara ledug suro. Dimana, masyarakat akan melebur dan membaur menjadi satu untuk merebutkan bolu yang sebelumnya sudah didoakan. Bagi mereka, bolu tersebut bisa membawa keberkahan dan kesehatan.

Yang tak kalah menarik perhatian adalah corak pakaian yang digunakan untuk selama prosesi arak-arakan berlangsung. Warga yang bertugas membawa arak-arakan akan mengenakan pakaian-pakaian kuno, beberapa ada pakaian yang memeragakan kera, naga, bahkan reog.

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on linkedin

SERING DIBACA

IKUTI KAMI