Cerita Perjuangan Trah Kiai Syamsul Arifin Menyebarkan Islam di Tapal Kuda
- Juni 26, 2022
- 10:27 pm

Kiai Syamsul Arifin dan Kiai As’ad Syamsul Arifin, putranya memulai pendirian pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Asembagus, Situbondo, Jawa Timur dari sebuah mushola kecil serta gubuk untuk tempat tinggal.
Berada di kawasan hutan lebat yang jauh dari permukiman penduduk, lokasi pesantren yang berdiri awal tahun 1900-an itu bersebelahan dekat dengan pesisir pantai utara Jawa. Dulunya daerah yang kini akrab disebut kawasan Tapal Kuda itu bernama Suko Beloso yang artinya kesatuan hutan dan pantai. Tapi kemudian diganti menjadi Sukorejo.
Nama Sukorejo konon pemberian dari Kiai Syamsul Arifin. Saat membuka hutan di awal pendirian pesantren, ulama berdarah Madura tersebut menemukan jejak berukuran besar serupa kaki manusia. Bekas telapak kaki itu tergurat di atas permukaan batu.
Dari jejak telapak kaki itu nama Sukorejo diambil. “Berasal dari kata soko rajah yang dalam bahasa Madura berarti “kaki besar”, “ kata M Solahudin seperti yang ditulis dalam “Napak Tilas Masyayikh, Biografi 25 Pesantren Tua di Jawa-Madura”.
Di awal berdiri, keberadaan pesantren tidak langsung menarik perhatian penduduk. Sejumlah warga memang memeluk Islam. Namun kewajiban sebagai seorang muslim masih ditunaikan angin-anginan. Kiai Syamsul Arifin pun mencari akal bagaimana pesantren yang masih muda itu, bisa didatangi santri.
Ia membuat gebrakan. Melalui bantuan Fathulloh, adik Haji Maiya, seorang petinggi di Desa Sukorejo, Kiai Syamsul Arifin mengundang seluruh pejabat di wilayah Kawedanan Asembagus. Mereka yang hadir lantas diajak bersama-sama melafalkan surat Al-Fatihah secara baik dan benar.
Alasan memilih surat Al-Fatihah karena menjadi bacaan utama dalam ibadah salat. Kiai Syamsul Arifin secara tidak langsung tengah melontarkan tantangan kepada para undangan. Ia ingin tahu siapa yang mampu melafalkan Al- Fatihah dengan mahraj dan tajwid secara benar.
Dalam pertemuan itu, Kiai Syamsul Arifin juga menarik perhatian undangan dengan ilmu kanuragan. Ia menguji kesaktian para tamu datang. Sebab sikap para undangan mengisyaratkan bersedia berguru setelah kesaktian yang mereka miliki berhasil diungguli Kiai Syamsul Arifin. Dan Kiai Syamsul Arifin berhasil membuktikan diri sebagai yang pilih tanding.
Kabar adanya ulama yang jadug itu dengan cepat tersebar luas. Di saat yang sama, Kiai Syamsul Arifin juga memperlihatkan keahliannya sebagai tabib yang mumpuni. Dengan media bubuk besi baja ia mengobati penderita penyakit borok yang lagi mewabah di masyarakat.
Tak hanya sebagai obat luar yang dioleskan pada luka. Beberapa orang mencampur bubuk besi baja dengan buah pisang dan lalu menelannya sebagaimana obat telan. Ajaib. Wabah borok yang sempat membuat banyak orang pincang dan lumpuh itu, sirna dalam sekejap.
Pada saat terjadi wabah penyakit mata, Kiai Syamsul Arifin juga turun tangan melakukan pengobatan ke masyarakat. Kiai Rofi’i dari Pesantren Curah Jero yang juga tertular penyakit mata, berhasil diobatinya. Nama Kiai Syamsul Arifin semakin tersohor.
Walhasil, mereka yang datang ke pesantren semakin banyak. Banyak yang berniat nyantri. Namun yang bertujuan berobat, juga tidak sedikit. “Kiai Syamsul Arifin memanfaatkan kesempatan ini untuk mengajarkan dasar-dasar agama Islam, sehingga mereka mulai mengenal ajaran Islam,” demikian yang terjadi selanjutnya.
Semakin banyaknya santri yang datang membuat Kiai Syamsul Arifin dan putranya, Kiai As’ad Syamsul Arifin harus meluaskan pesantren. Kawasan hutan kembali dibuka. Gubuk-gubuk baru, tempat para santri bermukim, didirikan. Dalam mengajar santri-santrinya, Kiai Syamsul Arifin dan Kiai As’ad Syamsul Arifin dibantu Kiai Abdul Lathif.
Kiai Abdul Lathif merupakan adik Kiai Syamsul Arifin yang datang dari Pamekasan. Ia datang bersama sejumlah santri dari Pesantren Kembang Kuning, Pamekasan. Santri pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo pun semakin ramai.
Perjalanan Panjang Menimba Ilmu Santri
Pendirian pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo sebenarnya adalah wujud tawadu’ Kiai Syamsul Arifin terhadap gurunya. Setelah melakukan perjalanan panjang menimba ilmu santri, ia diperintahkan untuk mendirikan pondok pesantren sendiri.
Kiai Syamsul Arifin terlahir dengan nama Raden Ibrahim. Ayahnya, Kiai Ruham alias Kiai Abdurrahman merupakan pengasuh Pesantren Kembang Kuning, Pamekasan Madura yang berdiri tahun 1619. Kiai Ruham memiliki silsilah keluarga yang bila ditarik ke atas sampai pada Sunan Ampel, Surabaya.
Di Madura keluarga Kiai Ruham merupakan golongan ulama yang sekaligus juga bangsawan. Ibu Kiai Syamsul Arifin bernama Nyai Nur Sari atau Khadijah. Yang bersangkutan merupakan keturunan Bendoro Saut, yakni Bupati Sumenep Madura tahun 1750-an yang bergelar Tumenggung Tirtonegoro. Silsilah ibu Kiai Syamsul Arifin ke atas sampai pada Sunan Kudus.
Kiai Ruham yang menginginkan putranya menjadi ulama, kemudian mengirim Kiai Syamsul Arifin muda ke pesantren Sidogiri, Pasuruan. Dari Sidogiri, Kiai Syamsul Arifin melanjutkan nyantri ke Pesantren Langitan, Tuban dan lalu terus berguru kepada Kiai Syaikhon Cholil, Bangkalan Madura.
Setelah dari Bangkalan, Kiai Syamsul Arifin kemudian kembali pulang ke Pesantren Kembang Kuning, Pamekasan. Di kampung halamannya, ia melihat kemaksiatan masih merajalela di mana-mana. Perjudian, sabung ayam, perkelahian atau carok yang sering terjadi di acara kesenian remongan.
Sebagai santri yang mengerti agama, Kiai Syamsul Arifin merasa bertanggung jawab. Ia berusaha mengubah prilaku masyarakat yang ada dengan pendekatan kekuatan. Para jawara-jawara Pamekasan ditaklukannya dengan cara adu kekuatan yang tak jarang mempertaruhkan nyawa. Nama Kiai Syamsul Arifin seketika disegani.
Karena merasa khawatir, Nyai Nur Sari, ibunya kemudian mengirim kembali Kiai Syamsul Arifin ke Pesantren Sidogiri, Pasuruan. Setelah lama di Sidogiri, Kiai Syamsul Arifin lalu melanjutkan belajarnya ke Mekah. Ia berangkat bersama Kiai Nawawi, putra pengasuh Pesantren Sidogiri.
Dalam perjalanannya menimba ilmu di Mekah, Kiai Syamsul Arifin bertemu dengan Nyai Maemunah, gadis asal Bangkalan, Madura. Nyai Maemunah adalah putri Kiai Muhammad Yasin yang masih berdzuriah kepada Mbah Cholil Bangkalan dan Sunan Gunung Jati. Gadis yang berhasil memikat hati Kiai Syamsul Arifin itu kemudian dipinangnya.
Keduanya menikah di tanah suci pada tahun 1890. Dari pernikahannya lahir Kiai As’ad Syamsul Arifin dan Kiai Abdurrahman. Kedua kakak adik tersebut sama-sama terlahir di tanah suci. Saat Kiai As’ad Syamsul Arifin berusia enam tahun, Kiai Syamsul Arifin dan Nyai Maemunah membawanya pulang ke tanah air.
Sementara Abdurrahman yang masih berumur empat tahun dititipkan kepada Nyai Salkah, sepupu Nyai Maemunah yang bertempat tinggal di Mekah. Setiba di Pamekasan, Kiai Syamsul Arifin membantu ayahnya mengajar di Pesantren Kembang Kuning. Tak berlangsung lama kemudian Nyai Maemunah wafat dan dimakamkan di Masjid Jami’Tallang, sebelah timur pesantren Kembang Kuning.
Pada tahun 1908, Kiai Syamsul Arifin yang menikah dengan Nyai Siti Sa’idah, janda Kiai Syarkowi, pendiri Pesantren Guluk-Guluk Sumenep, bertolak ke tanah Jawa, yakni di Sukorejo, Situbondo. Ia harus memenuhi pesan gurunya di Mekah yang memintanya mendirikan pesantren sendiri.
Dibantu Kiai As’ad Syamsul Arifin yang menyusul dari Pesantren Kembang Kuning, Pamekasan, Kiai Syamsul Arifin mendirikan pesantren Salafiyah Syafi’iyah di Sukorejo Situbondo.
Tongkat Mbah Cholil dan Berdirinya NU
Selama mengasuh pesantrennya, Kiai Syamsul Arifin sempat berurusan dengan kolonial Belanda yang membuatnya ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Namun ulama yang terkenal memiliki karomah itu buru-buru dilepaskan. Pasalnya penjara dan rumah yang ditempati orang-orang Belanda terguncang hebat tanpa sebab.
Sejak peristiwa itu, Gubernur Jawa Timur Van Der Plas menetapkan kawasan Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo sebagai daerah suci di mana pasukan Belanda dilarang sembarangan memasukinya. Kiai Syamsul Arifin wafat pada 5 Maret 1951. Kepemimpinan pesantren dilanjutkan Kiai As’ad Syamsul Arifin putranya.
Sejak umur 16 tahun, Kiai As’ad Syamsul Arifin yang lahir di Mekah, dikirim ayahnya ke tanah suci untuk belajar. Di Mekah ia nyantri kepada sejumlah ulama besar, yakni Sayyid Abbas al-Maliki, Syekh Muhammad Amin al-Quthbi, Syekh Hasan al-Yamani, Syekh Hasan al-Massad, Syekh Bakir, dan Syekh Syarif al-Syinqithi.
Di tanah air Kiai As’ad Syamsul Arifin berguru di Pesantren Banyuanyar, Pesantren Sidogiri Pasuruan yang diasuh Kiai Nawawi, dan Pesantren Buduran Panji Sidoarjo. Kemudian juga berguru kepada Mbah Cholil, Bangkalan Madura dan Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari Tebuireng, Jombang. Kiai As’ad Syamsul Arifin aktif membantu ayahnya mengajar di Pesantren Sukorejo sejak tahun 1938.
Sejumlah kitab diajarkannya kepada santri. Diantaranya Aqidah al-Awam, Izzi al- Kailani, al-Jurumiyah, Bidayah al-Hidayah, Kifayah al-Akhyar dan al-Jalalain yang khusus di bulan ramadhan. Sejak era Kiai As’ad Syamsul Arifin, di Pesantren Sukorejo berdiri madrasah ibtidaiyah hingga aliyah. Pada 14 Maret 1968, ia juga memprakarsai berdirinya Universitas Nahdlatul Ulama Ibrahimy (UNNIB).
UNNIB dalam perjalanannya berubah nama menjadi Institut Agama Islam Ibrahimy (IAII). Pada tahun 1990, Kiai As’ad Syamsul Arifin yang mencanangkan semboyan “menyantrikan pelajar dan mempelajarkan santri”, juga mendirikan lembaga pendidikan yang bernama Ma’had Ali. Sebagian besar kitab yang diajarkan meliputi fiqih dan ushul fiqih.
Kiai As’ad Syamsul Arifin yang dikenal sebagai ulama yang berfikiran terbuka soal pembaharuan, memilih garis perjuangannya di NU. Perannya di NU, yakni terkait histioris pendirian hingga sikap politik NU yang kembali pada khittah 1926, begitu besar.
Pada tahun 1924, Kiai As’ad Syamsul Arifin mendapat tugas dari Mbah Cholil untuk menyerahkan tongkat kepada Mbah Hasyim Asy’ari yang saat itu masih ragu-ragu dalam mendirikan jam’iyah Nahdlatul Ulama. Dalam mengantarkan tongkat, Kiai As’ad Syamsul Arifin juga diminta Mbah Cholil menghafalkan surat Thaha ayat 17-23 yang berkisah tentang mukjizat tongkat Nabi Musa.
Pada tahun 1925, Kiai As’ad Syamsul Arifin kembali diperintah Mbah Cholil menemui Mbah Hasyim Asy’ari untuk menyerahkan sebuah tasbih yang dikalungkan di lehernya. Dikutip dari nu.or.id, Kiai As’ad Syamsul Arifin menjadi wasilah (perantara) saat Mbah Hasyim meminta restu kepada Mbah Cholil, gurunya dalam mendirikan NU.
Choirul Anam dalam Pertumbuhan dan Perkembangan NU (2010) menulis, saat tasbih diambil, Mbah Hasyim Asy’ari lantas bertanya kepada Kiai As’ad Syamsul Arifin. “Apakah ada pesan lain dari Bangkalan?”. Jawab Kiai As’ad: Yaa Qahharu Yaa Jabbaaru (Wahai Yang Maha Kuasa, wahai Yang Maha Perkasa).
Dua potongan asmaul husna itu diucapkannya tiga kali. Mbah Hasyim Asy’ari kemudian mengatakan, “Allah SWT telah memperbolehkan kita untuk mendirikan jam’iyah”. Mbah Hasyim lalu meminta tolong Kiai As’ad Syamsul Arifin menyampaikan surat kepada sejumlah ulama di Madura. NU kemudian berdiri pada 16 Rajab 1344 Hijriyah atau 31 Januari 1926.
“Belakangan baru diketahui bahwa itu adalah surat rencana didirikannya organisasi para ulama, yakni Nahdlatul Ulama (NU),” tulis M Solahudin di dalam “Napak Tilas Masyayikh, Biografi 25 Pesantren Tua di Jawa-Madura”. Kiai As’ad Syamsul Arifin wafat pada 4 Agustus 1990 di Pesantren Sukorejo, dalam usia 95 tahun. Kepemimpinan pesantren kemudian dilanjutkan oleh putra-putrinya.
Baca juga
- Makna Lakon Wayang Kulit Bima Suci Buat Anies Baswedan
- Lahir Rabu Kliwon, Anies Baswedan Masuk Circle Weton Presiden
- Kisah Unik Wan Sehan di Rumah Anies Baswedan
- Ungkapan Anies Baswedan untuk Kondang Sutrisno: Selamat Jalan Pejuang
- Peran Alim Ulama dalam Merekatkan Kembali Kesadaran Berbangsa dan Bernegara