Cerita Keampuhan Kiai Mageti Bondoyudo, Pusaka Andalan Pangeran Diponegoro

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on linkedin
Keris yang disebutkan milik Pangeran Diponegoro di Museum für Völkenkunde Dresden, Jerman. Keris ini pertama diekspose seorang Jerman, Dietrich Drescher dalam sebuah artikelnya. (Dok Museum für Völkenkunde Dresden) Sedangkan di kanan, sketsa arang koleksi Museum Gajah yang dikopi Peter Carey dalam bukunya "Takdir" (Repro "Takdir" Peter Carey) /Foto: kerisnews.com

santrikertonyonoKiai Ageng Bondoyudo menyelip di sudut lingkaran pinggang Pangeran Diponegoro. Gagang Bondoyudo teracung ke depan, berposisi siap dihunus sewaktu-waktu.

Berbagai sumber menyebut, Pangeran Diponegoro tak pernah berjauhan dari Bondoyudo. Terutama menjelang akhir Perang Jawa (1825-1830), Ki Ageng Bondoyudo semakin sering diperlihatkan.

Bondoyudo mengandung arti “jago duel tanpa senjata”. Pangeran Diponegoro meyakini tuah yang tersembunyi di dalam keris pusaka Ki Ageng Bondoyudo benar adanya.

“(Kiai Ageng Bondoyudo) digunakan untuk mengobarkan semangat tempur balatentaranya di masa-masa sulit selama perang perang melawan Belanda,” tulis sejarawan Peter Carey dalam “Takdir, Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855)”.

Pusaka Kiai Ageng Bondoyudo mulai terlihat sejak Diponegoro kembali dari Tegalrejo. Peter Carey mencatat, sekembali dari Tegalrejo, Diponegoro mengubah sebuah mata panah menjadi sebilah cundrik atau belati kecil.

Konon, mata panah itu berasal dari kilatan cahaya yang tiba-tiba menghampiri dirinya di saat bersemedi. Panah itu diberi nama Sarutomo yang ditengarai terinspirasi dari panah Pasopati, senjata andalan tokoh pewayangan Arjuna.

Begitu mata panah berubah menjadi sebilah belati, Raden Ayu Maduretno atau Ratu Ayu Kedaton, istri keempat Pangeran Diponegoro yang membawanya ke mana-mana.

Di penghujung tahun 1827, belati itu dilebur dengan dua senjata pusaka lain untuk membuat satu keris pusaka yang diberi nama Kiai Ageng Bondoyudo,” tulis Peter Carey

Tangguh Mageti

Perwujudan pusaka Kiai Ageng Bondoyudo ramping lurus, tidak memiliki “luk” atau lekukan. Wakil Ketua Lesbumi PWNU Jawa Timur Imam Mubarok menyebut Kiai Ageng Bondoyudo memperlihatkan perpaduan antara dapur Majapahit dan Mataram.

Bentuk ramping menjadi salah satu ciri khas Tangguh Mageti. Dalam dunia perkerisan, Tangguh adalah istilah untuk menyebut asal- usul keris pusaka dibuat. Tangguh melibatkan ciri khas, format atau model dari daerah asal keris dicipta.

Nama Mageti, kata Imam Mubarok merupakan penisbatan pada daerah Magetan, Jawa Timur. Dan keris pusaka Boloyudo milik Pangeran Diponegoro adalah Tangguh Mageti.

Penyebutannya Boloyudo Tangguh Mageti,” kata Imam Mubarok atau akrab disapa Gus Barok kepada SantriKertonyono.com

Lalu siapa yang membuat keris Kiai Ageng Boloyudo? Gus Barok menyebut Mpu Guno Sasmito atau Ki Guno Sasmito, yakni seorang empu yang bertempat tinggal di Tegalrejo, Kabupaten Magetan.

Mpu Guno Sasmito merupakan dzuriyah (keturunan) Mpu Supodriyo atau Mpu Supo yang ke-13. Ia hidup di masa Pakubuwono VI. Dalam “Regol Megal Megol, Fenomena Kosmogoni Jawa”, Linus Suryadi AG menuliskan silsilah empu dari zaman Majapahit dengan menempatkan nama Mpu Supodriyo pada posisi teratas (tertua).

Mpu Supodriyo menurunkan anak bernama Mpu Jokosupo atau Pengeran Sedayu. Mpu Jokosupo dikenal sebagai empunya empu pada jaman Kerajaan Majapahit periode terakhir. “Dan Mpu Guno Sasmito merupakan keturunan yang ke-13,” kata Gus Barok.

Pada masa Pakubuwono VI, Mpu Guno kesohor sebagai empu kraton. Pakubowono VI yang berafiliasi dengan Diponegoro secara khusus meminta Mpu Guno mengawal persenjataan Diponegoro, terutama soal keris pusaka dan senjata lain, seperti seking (tombak kecil) dan patrem (keris kecil).

Mpu Guno langsung bertolak ke Magetan. Di Tegalrejo Magetan ia nyantri kepada Syekh Abdurrahman, seorang mursyid tarekat syattariyah. Tarekat syattariyah merupakan aliran tarekat yang muncul pertama kali di India. Nama syattariyah penisbatan kepada Abdullah asy-Syattar, ulama yang pertama kali mempopulerkannya.

Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya dikenal sebagai pengamal tarekat syattariyah yang taat. “Syekh Abdurrahman merupakan cicit dari Syekh Muhyi Pamijahan,” terang Gus Barok. Di padepokan Syekh Abdurrahman, Mpu Guno bertemu dengan Nyai Harjo Besari yang sama-sama penganut tarekat syattariyah. Kelak Nyai Harjo Besari konon yang membawa “inti besi tanah Jowo” sebagai bahan utama keris Mageti.

Ada cerita tersendiri dengan “inti besi tanah Jowo” ini. Nyai Harjo Besari mendapatkan secara misterius ketika hendak berbelanja di Madiun. Saat perjalanan, seseorang yang tidak dikenal, tiba-tiba mencegatnya.

Si orang meminta Nyai Harjo Besari menukar seluruh uang belanjaannya dengan sebongkah besi yang ia bawa. Oleh Nyai Harjo Besari tawaran itu diiyakan begitu saja. “Besi yang kemudian disebut sebagai inti besi tanah Jowo itu yang menjadi bahan utama keris mageti,” terang Gus Barok.

Keris Mageti buatan Mpu Guno memiliki perpaduan besi dan baja yang padat. Saking padatnya, keris Mageti mampu dengan mudah menembus baju zirah. Menurut Gus Barok, selain bahan yang bagus, yakni inti besi tanah Jowo, kesempurnaan keris Mageti dipengaruhi pemanasan yang sempurna.

Pemanasan dalam proses pembuatan keris memakai arang kayu jati,” ungkap Gus Barok. Keris Mageti buatan Mpu Guno berciri adanya lafal dzikir syattariyah yang dipahat pada beberapa bagian keris. Terutama pada “Pesi”, yakni bagian terbawah keris yang tertutup gagang.

Peletakan lafal wirid merupakan arahan dari Syekh Abdurrahman yang mengandung pesan penyatuan amal perbuatan ke dalam pusaka. Menurut Gus Barok, Mpu Guno tidak hanya membuatkan keris untuk Pangeran Diponegoro.

Senopati perang Sentot Ali Basah Prawirodirjo dan pasukan diponegoro lain juga bersenjatakan keris Mageti. Dalam perang Jawa, keris yang sebagian besar berpamor junjung derajat itu menjadi ciri senjata pasukan Diponegoro. Hal itu yang membuat kompeni Belanda pernah melakukan operasi pemeriksaan keris.

“Tapi tentunya setiap keris Mageti memiliki tingkatan yang berbeda-beda, yang itu diperlihatkan adanya ciri khusus,” kata Gus Barok. Pusaka keris Mageti diyakini memiliki yoni atau energi yang berbeda dengan pusaka lainnya. Entah karena pengaruh laku wirid tarekat Syattariyah atau apa, Gus Barok mengaku merasakan hal itu.

Setiap memegang keris Mageti, getaran energi itu akan terasa. Bahkan gelombang energi yang timbul dari keris Mageti, kata Gus Barok selalu menenggelamkan energi pusaka lain ketika keduanya didekatkan. “Bagi orang yang terbiasa bergaul dengan keris dan lebih peka akan bisa merasakan energi itu,” ungkap Gus Barok.

Mungkin karena faktor energi itu, Pangeran Diponegoro selalu menempatkan keris Kiai Ageng Boloyudo di depan untuk menolak bala. Saat Diponegoro meninggal dunia di pengasingan, Boloyudo juga ikut dikubur bersama jenazahnya.

“Pada petang di hari yang sama, jenazah Pangeran (Pangeran Diponegoro) dikembumikan di Kampung Melayu bersama keris pusakanya, Kangjeng Kiai Bondoyudo,” tulis Peter Carey dalam “Takdir, Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855)”.

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on linkedin

SERING DIBACA

IKUTI KAMI