Besar di Keluarga Santri, Sosok Yasadipura I Sang Pujangga dari Keraton Surakarta
- Juni 1, 2022
- 9:30 am

Beberapa peristiwa penting hingga proses legitimasi raja kala itu menjadi salah satu faktor pendukung dari keberadaan karya sastra khususnya karya yang muncul pada masa klasik di tanah Jawa. Bahkan ada beberapa raja yang sampai ikut dalam proses penyusunan karya sastra itu dengan para pujangga, atau juga seorang raja sendiri yang bisa menjadi pujangga.
Istilah pujangga Jawa ini konon muncul pada masa kesultanan Islam, lebih tepatnya sebuah karya sastra klasik yang lahir sebelum adanya pengaruh barat atau sekitar akhir abad ke 19. Jika dilihat dalam proporsi kerajaan, maka kedudukan sang pujangga ini sama seperti penasihat spiritual raja dan sebagai sastrawan dalam kesultanan. Dengan membawa hasil karyanya itu, seorang pujangga mampu membawa kewibawaan raja serta mengaktualkan ajaran agar mudah dipahami oleh masyarakat.
Menilik sejarah eksistensi sastra Jawa dari masa ke masa seperti menggali tanah yang tidak akan ada ujungnya. Banyaknya sastra Jawa yang terkumpul menjadi salah satu warisan kebudayaan turun temurun yang tetap membuat orang Jawa mengetahui asal usulnya. Hingga saat ini pun, kumpulan sastra Jawa dari berbagai bentuk masih disimpan dengan rapi sebagai bukti sebuah peradaban masyarakat Jawa.

Beberapa literatur sejarah banyak yang menyebutkan bahwa keberadaan pujangga hebat dengan mahakaryanya sudah ada bahkan jauh sebelum era Keraton Kasunanan Surakarta dimulai. Hanya saja, pada era Surakarta ini karya para pujangga menjadi lebih membumi dan memberikan jutaan inspirasi kepada para pujangga lain untuk melahirkan karya-karya baru.
Selain itu, perpindahan yang terjadi antara Keraton Kartasura ke Desa Sala nampaknya tidak hanya menjadi sejarah pertama berdirinya Keraton Kasunanan Surakarta, namun masa awal berdirinya Keraton Kasunanan Surakarta juga menjadi era baru bagi kesusastraan Jawa. Beberapa nama tokoh pujangga pun hingga kini masih menjadi rujukan seperti salah satunya Yosodipuro I hingga Ronggowarsito.
Dilansir dari Detik.com, KGPH Dipokusumo Pengageng Parentah Keraton Kasunanan Surakarta menyebutkan bahwa seorang pujangga tak hanya sekedar menulis atau hanya membuat karya sastra. Lebih dari itu, seorang pujangga sudah menjadi kebutuhan khusus penguasa. Dimana setiap raja akan selalu menbutuhkan keberadaan pujangga, karena sebuah keraton kelak akan menjadi sumber kebudayaan Jawa.
Bagi masyarakat terdahulu, seorang pujangga dianggap sebagai seseorang yang mampu memprediksikan masa depan atau biasa disebut jangka. Itulah mengapa sosok pujangga dianggap sangat penting di lingkungan istana. Terlebih ada unsur fungsi kedudukan dalam peran raja, karena mayoritas para pujangga berusia panjang, jadi seorang pujangga bisa hidup di beberapa masa.
Dalam konteks kasultanan, seorang pujangga sebenarnya memiliki peran ganda yakni sebagai aktor intelektual serta aktor politik. Dimana, di satu sisi seorang pujangga harus memiliki idealisme yang kuat dalam hal pengetahuan dan kebudayaan keraton. Namun disisi lain juga harus berperan sebagai abdi dalem, sang pujangga dituntut untuk memiliki dedikasi dan loyalitas yang tinggi terhadap rajanya.
Pasalnya, sebuah karya sastra yang dihasilkan oleh para pujangga tak hanya sebatas karya sastra, lebih dari itu mengandung imajinasi, spiritualitas untuk membuka rahasia alam semesta hingga dijadikan sebagi pedoman bagi keberlangsungan di wilayah kerajaan.
Yasadipura tumbuh di Keluarga Santri
Mengenal sosok Yasadipura tua atau Yasadipura I yang diakui sebagai sosok bapak Renaisans Surakarta, lahir pada 9 September 1729 di Desa Pengging Jawa Tengah, sebuah lingkungan yang sebenarnya tidak jauh dari istana Kartasura. Yasadipura I lahir dari pasangan muslim shaleh. Ibunya bernama Maryam yang merupakan anak dari ulama Kalipah Caripu dan ayahnya adalah Kiai Tumenggung Padmanegara, seorang keturunan generasi ketujuh Sultan Pajang.
Tumbuh di tengah-tengah keluarga santri atau pelajar Islam, Yasadipura I mengikuti jejak sang ayah untuk mengembara ke beberapa pedalaman Indonesia untuk menggali ilmu agama Islam. Tepat di tahun 1738, saat Yasadipura berusia 8 tahun dikirim ke desa pedalaman Bagelen-Kedhu untuk mempelajari bahasa Arab dan huruf Jawa di salah satu teman kakek dari pihak ibu, Kiai Honggamaya.
Menurut Nancy K. Florida dalam bukunya “Jawa-Islam di Masa Kolonial” (2020) yang diterjemahkan oleh Irfan Afifi, segala macam intrik bahkan pemberontakan berlangsung di lingkungan Keraton Kartasura dengan rusuh saat masa muda Yasadipura tengah mengabdi ilmu dengan berbagai pelajaran agama dan sastra seperi sastra Jawa serta sastra Arab.

Belum lagi serangkaian peralihan dan perubahan yang sangat rumit dimana orang-orang Cina tengah melangsungkan pemberontakan hingga menyerbu dan menduduki istana pada tahun 1742. Kejadian yang biasa disebut dengan geger pecinan ini akhirnya membuat Raja Kartasura Susuhunan Pakubuwana II terpaksa lari dari singgasana kerajaannya. Wilayah Panaraga Jawa Timur adalah wilayah yang dipilih sang raja untuk bersembunyi.
Sementara itu, alih-alih ingin pulang ke kampung halaman, saat Yasadipura yang telah menyelesaikan rangkaian pelajaran ngaji-nya dengan Kiai Honggamaya, sosok santri muda ini malah mengikuti jalan rajanya dengan pergi ke Panaraga dan diterima sebagai abdi raja disana. Di tahun 1743, tepatnya setelah pasukan Madura bersekutu dengan Belanda, kembali mengambil alih kota kerajaan lama dari Cina, akhirnya Yasadipura bersama sang raja bisa kembali ke Kartasura dengan bantuan VOC.
Masih dibawah bayang-bayang reruntuhan dari istana Keraton lama, Yasadipura membulatkan tekadnya untuk melanjutkan pendidikan agama Islam dan sastra Jawanya. Kala itu yang menjadi guru dari Yasadipura tak lain adalah sang pujangga istana lama bernama Pangeran Wijil Kadilangu, seorang keturunan wali Islam tanah Jawa yang namanya sudah melegenda, yakni Sunan Kalijaga.
Pada tahun 1744, Raja Pakubuwana II memutuskan untuk meninggalkan Kartasura dan memindahkan keratonnya beberapa kilometer ke sebelah timur, konon pada moment ini Yasadipura san Pangeran Wijil memainkan peran penting untuk mencari titik koordinat yang tepat. Pangeran Wijil dan Yasadipura sebagai ahli spiritual pakar kesusastraan keraton mendapat tugas memilih dan mempersiapkan lokasi tempat keraton baru.
Tak menunggu lama, santri muda dan gurunya inipun menunjuk wilayah pinggir sungai Solo, wilayah itu dipilih karena mereka berdua menemukan keterhubungan lokasi yang cenderung Berawa ini dengan dunia ruh Laut Selatan atau Ratu Kidul. Tak hanya itu, mereka juga berhasil mengendalikan keterhubungan tersebut yang konon menjadi salah satu alasan diubahnya Desa Solo nenjadi Keraton Surakarta di tahun 1745.
Waktu berlalu, Yasadipura tumbuh menjadi bintang politik dan kesusasteraan di Istana Surakarta yang baru. Seorang abdi muda ini lantas menjadi saksi mata atas pecahnya sebuah peristiwa Perang Giyanti pada tahun 1746 hingga 1757 yang mengakibatkan terpecah belahnya Kerajaan Mataram pada tahun 1755. Kala itu, pamor Yasadipura semakin meroket saat ia menjadi orang kepercayaan dekat dari Pakubuwana III.
Sementara, Yasadipura I dinyatakan meninggal pada tahun 1803. Ia dikenal sebagai seorang pujangga senior Istana Surakarta yang telah lama mengabdi hingga tiga generasi Surakarta. Karya-karyanya begitu luar biasa, ia menulis secara subur serta konon memberikan nasehat-nasehat bijaknya hingga 60 tahun lebih.

Karya Intertekstual Luar Biasa
Secara garis besar, tulisan-tulisan Yasadipura I yang seluruhnya terjadi dalam bentuk tembang puisi (macapat) mencakup tema yang sangat luas. Tak hanya terkenal dengan gubahan karya klasik Kawi Hindu dan Budha-nya, Yasadipura juga terkenal pandai mengarang sejumlah naskah lain, hingga menulis beberapa rangkaian sejarah atau biasa disebut babad.
Babad karya Yasadipura utamanya menceritakan tentang jaman Keraton Kartasura dan Perang Giyanti yang dimana ia turun ikut mengambil bagian didalamnya hingga terkait intrik perkawinan dan politik yang dulu kerapkali menghiasi tahun-tahun awal keraton baru di Surakarta.
Yasadipura juga mengarang versi tebal epik Menak Amir Hamza, sebuah kisah roman sejarah panjang yang membahas tentang petualangan heroik dan kisah asmara Amir Hamzah yang tak lain merupakan paman dari Nabi Muhammad saat ia tengah menyebarkan Islam melalui perang di berbagai wilayah kerajaan di sekitar Arabia.
Naskah ini konon diadaptasi dari bahasa Persi kemudian ke bahasa Melayu, kisah Ménak Yasadipura tetap berhasil mencuri perhatian abdi di Keraton Surakarta terutama kaum hawa hingga awal abad ke 20. Namun, dalam naskah ini ada beberapa bagian yang harus disunting, seperti poin-poin kalimat yang dianggap sebagai “propaganda Islam” yang berlebihan.
Karya lain yang dilahirkan oleh Yasadipura adalah Serat Tajussalatin, gubahan dalam bahasa Jawa dari tulisan bahasa Melayu Hikayat Mahkota Segala Raja-Raja. Tajussalatin sendiri merupakan karya didaktis berat yang membahas tentang etika raja-raja muslim. Jika dipandang menurut tradisi Dinasti Surakarta, naskah itu merupakan satu-satunya naskah yang pembacaannya masih wajib dilakukan bagi raja-raja di tanah Jawa.
Tak hanya itu, Yasadipura I juga pernah menulis Serat Cabolèk, salah satu karyanya yang luar biasa, sebuah puisi dengan makna begitu dalam. Serat ini merupakan sebuah sejarah yang berlatarbelakang masa pemerintahan Pakubuwana II, sebuah cerita tentang masalah sifat raja-raja Jawa. Rata-rata permasalahan tentang “ortodoksi” Islam, masalah mistisme Sufi atau tasawuf, serta kesusasteraan Kawi klasik.
Dimana, dalam salah satu bagian cerita mengkisahkan sang tokoh utama dalam puisi ini yang merupakan muslim “ortodoks” yang tak lain adalah seorang santri dari wilayah Kudus yang terpelajar dalam sebuah sastra “klasik”.
Baca juga
- Lahir Rabu Kliwon, Anies Baswedan Masuk Circle Weton Presiden
- Ungkapan Anies Baswedan untuk Kondang Sutrisno: Selamat Jalan Pejuang
- Makna Lakon Wayang Kulit Bima Suci Buat Anies Baswedan
- Kisah Unik Wan Sehan di Rumah Anies Baswedan
- Peran Alim Ulama dalam Merekatkan Kembali Kesadaran Berbangsa dan Bernegara