Benarkah Kiai Mojo Mengkhianati Pangeran Diponegoro?
- Januari 24, 2022
- 8:15 am

Kiai Mojo seharusnya menjadi penasihat sekaligus panglima paling setia bagi Pangeran Diponegoro. Namun, yang terjadi justru mengejutkan. Kiai Mojo adalah orang pertama yang membuka peluang berakhirnya Perang Jawa pada 1830 setelah berkobar 5 tahun lamanya dan amat merepotkan Belanda. Diponegoro ditangkap, diasingkan, dan perlawanan pun usai.
Apakah Kiai Mojo mengkhianati Pangeran Diponegoro? Sebagian pihak barangkali berpikiran begitu, kendati sejatinya tak sepenuhnya seperti yang disangka. Kiai Mojo kasihan sekaligus memendam kekecewaan terhadap sepupunya itu. Lagi pula, Belanda ingkar janji sehingga Pangeran Diponegoro kena jebakan.
Sebenarnya, apa yang terjadi antara Kiai Mojo dengan Pangeran Diponegoro sehingga dua pemimpin umat Islam dan rakyat Jawa yang sebelumnya sangat dekat lagi kompak ini berselisih sampai akhirnya pecah kongsi?
Aksi Dua Pangeran dari Luar Istana
Dikutip dari buku berjudul Dakwah Dinasti Mataram dalam Perang Diponegoro, Kyai Mojo, & Perang Sabil Sentot Ali Basah (2007) karya Heru Basuki, nama asli Kiai Mojo adalah Muslim Mochammad Khalifah. Ia lahir tahun 1792 di Desa Mojo, wilayah Pajang, dekat Surakarta. Dari situlah kelak nama Mojo tersemat.

Kiai Mojo dan Pangeran Diponegoro masih saudara sepupu. Pangeran Diponegoro alias Raden Mas Antawirya adalah putra sulung Sultan Hamengkubuwana III dari istri selir. Sedangkan Kiai Mojo adalah keponakan sang sultan. Dua pangeran ini sama-sama terbiasa hidup di luar istana sejak kecil.
Ketaatan beragama Kiai Mojo sangat kuat. Sembari menunaikan ibadah haji, ia kemudian menetap di tanah suci cukup lama. Setelah pulang, Kiai Mojo mengamalkan ilmunya dengan mengelola pesantren di kampung halamannya.
Suatu hari, datang ajakan dari Pangeran Diponegoro kepada Kiai Mojo untuk turut memerangi penjajah. Kepada sepupunya itu, Pangeran Diponegoro menjanjikan bahwa kelak, pemerintahan di Jawa akan menerapkan syariat Islam. Kiai Mojo sepakat dan ikut berjuang dalam Perang Jawa.
Bergabungnya Kiai Mojo berdampak besar. Peter Carey dalam Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855 (2016) mencatat, tidak kurang dari 112 orang kiai, 31 tokoh masyarakat bergelar haji, 15 orang syekh, dan puluhan penghulu memberikan dukungannya, itu belum termasuk para pengikut mereka.
Perang suci melawan kaum kafir pun memantik semangat baru untuk pasukan Pangeran Diponegoro. Belanda jelas kewalahan menghadapi orang-orang yang berani demi membela agama mereka itu. Perang Jawa merupakan salah satu peperangan paling melelahkan bagi Belanda di Nusantara.
Perpecahan yang Berujung Perangkap
Tiga tahun mendampingi Pangeran Diponegoro berjuang sebagai penasihat sekaligus panglima perang, Kiai Mojo mencium gelagat kurang beres. Pangeran Diponegoro, dalam pandangan Kiai Mojo, mulai menunjukkan sikap yang tidak membuatnya gelisah sebagai seorang ulama.
Demi menarik simpati rakyat, Pangeran Diponegoro menyatakan dirinya adalah juru selamat. Bahkan, tulis K.R.T. Hardjonagoro dalam Sultan Abdulkamit Herucakra Khalifah Rasulullah di Jawa 1787-1855 (1990), Pangeran Diponegoro menyebut bahwa ia telah dinobatkan sebagai Ratu Adil dengan gelar “Jeng Sultan Abdulhamid Herucakra Sayidin Panatagama Khalifah Rasullullah” di tanah Jawa.
Menurut Kiai Mojo, sikap keseharian Pangeran Diponegoro bukan lagi layaknya seorang ulama atau pemimpin umat. Hal-hal yang bersifat duniawi kerap dipertontonkan oleh Pangeran Diponegoro. Tujuan atas nama Islam dalam Perang Jawa mulai melemah. Kiai Mojo bahkan melihat Pangeran Diponegoro justru punya ambisi ingin berkuasa, sangat berbeda dengan sosoknya yang dulu.
Ungkapan kekecewaan Kiai Mojo ditemukan dalam catatan yang ditulis oleh orang kepercayaan Pangeran Diponegoro. Dari sinilah dalih perpecahan dan perpisahan antara Kiai Mojo dengan Pangeran Diponegoro terkuak.
“Alasan utama saya mengangkat senjata adalah karena Pangeran Diponegoro berjanji akan membangun suatu pemerintahan Islam. Percaya janji itu, saya langsung bergabung kepadanya,” ungkap Kiai Mojo dalam catatan yang ditemukan oleh Peter Carey itu.
“Namun belakangan, saya mendapati bahwa itu bukanlah tujuan yang sebenarnya, dan ia sebenarnya hanya ingin mendirikan suatu kerajaan baru di Jawa,” lanjutnya.
“Saya sendiri mengajukan keberatan atas hal itu dan kami berdebat dengan sengit akan tujuan pemberontakan (perlawanan terhadap Belanda) ini hingga akhirnya ia menyarankan agar saya berhenti berperang,” tambah Kiai Mojo.
Akhir Jihad Sang Ulama Pejuang
Demi kebaikan Pangeran Diponegoro yang dianggap sudah salah arah, Kiai Mojo akhirnya menemui Belanda. Pihak Belanda yang mulai kepayahan menghadapi perang tentunya terkejut sekaligus senang disambangi orang yang paling dipercaya oleh Pangeran Diponegoro.
Kepada Kiai Mojo, Belanda berjanji akan menyerahkan tanah Jawa kepada Pangeran Diponegoro. Kiai Mojo pun menjawab bahwa jika itu terjadi, maka peperangan bisa segera diakhiri. Namun, itu semua ternyata hanya akal bulus Belanda.
Tanggal 12 November 1828, Belanda menangkap Kiai Mojo dan para pengikutnya di Mlangi (kini wilayah Sleman, Yogyakarta). Dikutip dari Strategi Menjinakkan Diponegoro: Stelsel Benteng 1827-1830 (2004) yang ditulis Saleh Asʾad Djamhari, Kiai Mojo kemudian dibawa ke Batavia.
Dari Batavia diputuskan bahwa Kiai Mojo dan pengikutnya dijatuhi hukuman pembuangan ke Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara. Kiai Mojo menjalani pengasingan tersebut dan terus berdakwah Islam hingga wafat di sana tanggal 20 Desember 1849.
Di Jawa, kekuatan pasukan Pangeran Diponegoro melemah setelah ditinggalkan oleh Kiai Mojo dan pengikutnya. Sekira 2 tahun setelah penangkapan Kiai Mojo, giliran Pangeran Diponegoro yang dijebak dan ditangkap.
Ditangkapnya Pangeran Diponegoro praktis membuat Perang Jawa yang telah berlangsung selama 5 tahun selesai. Belanda menikmati kemenangan berkat kelicikan dengan menjebak dua pangeran yang amat merepotkan, yakni Kiai Mojo dan Pangeran Diponegoro.
Belanda semula berencana mengirim Pangeran Diponegoro ke Tondano. Namun rencana tersebut dibatalkan karena muncul kekhawatiran jika Pangeran Diponegoro bergabung lagi dengan Kiai Mojo bakal menimbulkan masalah baru.
Akhirnya, diputuskan bahwa Pangeran Diponegoro diasingkan ke Manado, Sulawesi Utara, kemudian dipindahkan ke Makassar, Sulawesi Selatan. Pangeran Diponegoro meninggal dunia pada 8 Januari 1855 atau beberapa tahun setelah mangkatnya Kiai Mojo.
Baca juga
- Kisah Unik Wan Sehan di Rumah Anies Baswedan
- Lahir Rabu Kliwon, Anies Baswedan Masuk Circle Weton Presiden
- Peran Alim Ulama dalam Merekatkan Kembali Kesadaran Berbangsa dan Bernegara
- Ungkapan Anies Baswedan untuk Kondang Sutrisno: Selamat Jalan Pejuang
- Makna Lakon Wayang Kulit Bima Suci Buat Anies Baswedan