Belanda Berulah, Kabupaten Madiun Kacau di Bawah Pemerintahan Ronggo Prawirodirjo III
- Oktober 7, 2022
- 9:40 am

SANTRIKERTONYONO – Beberapa kerusuhan yang terjadi di sebagian besar wilayah Madiun menjadi sorotan kompeni Belanda. Bahkan, mereka menuding bahwa kerusuhan terjadi atas perintah dari Bupati Madiun sendiri yakni Ronggo Prawirodirjo III. Kabar kerusuhan-kerusuhan itu akhirnya menjadi konsumsi publik Kasultanan Yogyakarta dan dianggap sudah wajar.
Berdasarkan “memorie” Residen Yogyakarta Johannes Gerardus Van Den Berg, putra Raden Ronggo Prawirodirjo pernah meminta seekor kambing dengan kualitas yang bagus yang sedang di gembala. Namun, sang pemilik kambing tak berniat menjualnya meskipun dibeli dengan harga tinggi.
Penolakan dari pemilik kambing ternyata menyulut amarahnya, tak segan-segan putra Raden Ronggo Prawirodirjo membunuh pemilik kambing hingga menjadi pemberitaan yang sangat hangat di Kasultanan. Menurut Johannes, kejadian tersebut bermula saat Bupati Madiun berada di Desa Delanggu dan dalam perjalanan ke Yogyakarta.
Pada bulan Februari 1810, Gubernur Jendral H. W. Daendels akhirnya mengambil tindakan keras akibat dari banyaknya kerusuhan yang terjadi, terutama di Desa Ngebel dan Sekedok di Ponorogo yang merupakan wilayah kekuasaan Kasunanan Surakarta.

Kerusuhan yang dimaksud seperti banyaknya tragedi pembunuhan dan perampokan di wilayah perbatasan Madiun dan Ponorogo. Beberapa literatur sejarah banyak yang menyebutkan bahwa pihak Ponorogo menderita kekalahan dan kerugian besar dalam peperangan tersebut, dikarenakan pertahanan dan perlawannya tidak sebaik dan sekuat pertahanan Kasultanan Yogyakarta yang ada di Madiun.
Melihat kondisi wilayah Ponorogo yang kacau, Daendels mengajukan tuntutan ganti rugi kepada Sultan. Namun, Sultan menolak dengan alasan kejadian tersebut harus diselidiki akar masalahnya terlebih dahulu. Setelah dilakukan investigasi, akhirnya Bupati Madiun dianggap bersalah atas segala kekacauan yang terjadi.
Penetapannya sebagai tersangka tak membuat Bupati Ronggo Prawirodirjo III diam. Ia lantas mengajukan pembelaan dengan mengajukan pengaduan kepada Kasunanan Yogyakarta, namun tak di hiraukan oleh Daendels.
Tak berselang lama, kembali terjadi perampokan dan pembunuhan yang serupa beberapa wilayah seperti di Karesidenan Pekalongan, Semarang, Rembang dan Demak. Kali ini, kerusuhan tersebut dipimpin oleh Tirtowijoyo seorang Demang dari Tirsana yang dituduh sebagai kaki tangan yang sengaja diselundupkan oleh Ronggo Prawirodirjo III. Lagi-lagi, Ronggo Prawirodirjo III dianggap bersalah atas kasus ini.
Jauh sebelumnya, Ronggo Prawirodirjo sebenarnya menyimpan dendam kepada Gubernur Jenderal H. W. Daendels yang telah membuat peraturan tentang kepemilikan hutan di wilayah Madiun yang jatuh ke tangan Pemerintah Belanda. Terlebih, hasil hutan hanya digunakan untuk kepentingan perang kompeni Belanda.
Perseteruan Ronggo Prawirdirjo III dengan Belanda
Dari sekian banyaknya kesalahan-kesalahan yang dituduhkan kepada Bupati Ronggo Prawirodirjo III, Gubernur Daendels meminta kepada Sultan agar Bupati Madiun Ronggo Prawirodirjo III beserta kaki tangannya di tangkap dan diserahkan kepada Belanda untuk dijatuhi hukuman sesuai dengan Undang-Undang negeri Belanda.
Melalui Van Broom Belanda, sebanyak 4 tuntutan telah disampaikan, masing-masing Sultan harus menerima upacara protokoler yang telah di tetapkan oleh Daendels, mengembalikan Raden Danurejo II sebagai Patih Kerajaan yang sebelumnya dipecat karena dianggap lebih berpihak kepada Belanda, memberhentikan jabatan Patih Raden Tumenggung Notodiningrat yang dinilai membahayakan posisi Belanda, serta memanggil Bupati Ronggo Prawirodirjo III menghadap ke Bogor untuk meminta ampun kepada Gubernur Jendral secara langsung.
Apabila empat tuntutan tersebut tidak dijalankan, Gubernur Jendral akan membawa bala tentaranya untuk mengepung dan menghukum Sultan. Suasana yang penuh kecaman itu memang sengaja di buat oleh Pemerintah Belanda untuk melumpuhkan Kasultanan Yogyakarta, lebih dari itu para kompeni Belanda juga berniat untuk mengambil alih kekuasaan Mancanegara Timur dari Kasultanan Yogyakarta.
Isi tuntutan Pemerintah Hindia Belanda yang berniat merubah tatanan upacara protokoler istana dianggap sangat merendahkan raja, terlebih harus menyerahkan Ronggo Prawirodirjo III kepada Gubernur Jendral H. W. Daendels dirasa sangat berta oleh Sri Sultan Hamengku Buwono II.
Perasaan delima juga menyelimuti hati Ronggo Prawirodirjo III, di satu sisi jika ia memenuhi perintah Sultan sang ayah mertuanya untuk menghadap Belanda di Bogor maka itu berarti ia menyerah dan rela dijajah karena memang dari awal Belanda menginginkan kematiannya. Namun, di sisi lain jika ia tidak memenuhi perintahnya, maka Sultan akan menderita di tangan Belanda.
Akhirnya Ronggo Prawirodirjo III lebih memilih untuk meninggalkan istana Yogyakarta dan kembali ke Maospati, dengan tegas ia memutuskan melawan Pemerintah Belanda. Ia Menyusun strategi untuk mengelabuhi Belanda dengan cara menulis surat.
Surat pertama yang ditujukan untuk Belanda tepatnya kepada Van Broom, ia menuliskan bahwa ia akan memenuhi permintaan Belanda untuk menghadap Gubernur Jendral yang berada di Bogor. Sementara surat keduanya, ia tulis untuk Sultan.
Surat tersebut ia sampaikan melalui Tumenggung Notodingingrat dan Tumenggung Sumodiningrat. Ronggo Prawirodirjo III merasa sudah tidak tahan dengan tipu muslihat yang dilakukan oleh Patih Danurejo II. Karena ia pasti akan ditangkap dan dibuang oleh Belanda.
Ronggo Prawirodirjo III berencana akan melancarkan perang gerilya terhadap Belanda di wilayah Mancanegara Timur. Lalu, ia secara khusus meminta agar istananya dijaga dan jembatan-jembatan yang menuju istananya dirusak. Ia juga meminta, rencananya itu diberitahukan kepada Sultan agar mendapatkan dukungan penuh untuk melawan Belanda.
Di tahun 1810, Bupati Madiun tiba-tiba memproklamasikan perang melawan pemerintah Belanda. Hal itu ternyata membuat Daendels sangat terkejut, bagaimana tidak? Tiba-tiba Ronggo Prawirodirjo III tiba di Maospati dengan diikuti 300 prajurit dari Yogyakarta.
Serangan Balik sang Bupati
Bahkan, dalam perjalanannya pasukannya juga melakukan pengrusakan dan pembakaran di beberapa tempat di Surakarta, yang dianggap sebagai kaki tangan Belanda. Ronggo Prawirodirjo III menyerukan ajakan untuk siap melawan kekuasaan Belanda kepada seluruh rakyat Mancanegara Timur dan masyarakat Tionghoa.
Ia juga menggunakan gelar baru yakni Susuhunan Prabu ing Alogo, sedangkan Patih Madiun Tumenggung Sumonegoro mendapt gelar Panembahan Senopati ning Perang dan 14 bupati bawahannya mendapat gelar sebagai Pangeran.
Langkah pertama yang diambil oleh Ronggo Prawirodirjo III adalah memperluas medan perang. Ia mengirimkan surat kepada para bupati, seperti Bupati Mancanegara Barat, Bupati Mancanegara Pesisir Utara, dan seluruh bupati yang berada di wilayah tersebut.
Dimana surat itu berisi seruan agar para bupati mengakui gelar baru yang disematkan kepada Ronggo Prawirodirjo III, semua bupati diharapkan bisa menyokong perjuangannya untuk melawan penjajah Belanda, seluruh laki-laki baik Jawa maupun Tionghoa bersedia masuk sebagai tenaga sukarela.
Dalam surat itu, ia juga menegaskan bahwa Belanda berusaha mengamankan posisi mereka dengan memanfaatkan raja-raja daerah, semata-mata untuk menjamin kelangsungan hak monopoli Belanda di Nusantara. Seruan untuk membunuh para pegawai-pegawai Belanda juga disebarluaskan serta tak lupa selalu memohon berkah dari Sultan Yogyakarta dan Tuhan Yang Maha Esa.
Menanggapi seruan tersebut, Sultan langsung memanggil semua pangeran, sentana, para kerabat hingga para Bupati untuk berkumpul untuk membicarakan perlawanan yang tengah dilakukan oleh Bupati Madiun kepada Belanda.
Untuk membuktikan bahwa Sultan tidak bersalah atas kerusuhan yang terjadi, Sultan melaporkan hal tersebut kepada Pemerintah Belanda yang bermarkas di Semarang. Sebagai buktinya, Sultan menyerahkan Notokusumo dan Pangeran Raden Notodinigrat kepada Belanda.
Namun, Sultan mengajukan syarat apabila Ronggo Prawirodirjo III berhasil ditangkap bahkan dibunuh, maka kedua pangeran tersebut harus dikembalikan ke Istana Yogyakarta. Jika dilihat dari Babad Amangku Buwono, penyerahan kedua pangeran tersebut malah mendatangkan duka yang cukup dalam di Istana Yogyakarta.
Dalam perjalanannya menuju Semarang, ia diantarkan oleh Tumenggung Danukusumo, Patih Danuredjo II, Residen Yogyakarta serta Minister Engelhard beserta sang nyonya.
Baca juga
- Kisah Unik Wan Sehan di Rumah Anies Baswedan
- Makna Lakon Wayang Kulit Bima Suci Buat Anies Baswedan
- Peran Alim Ulama dalam Merekatkan Kembali Kesadaran Berbangsa dan Bernegara
- Lahir Rabu Kliwon, Anies Baswedan Masuk Circle Weton Presiden
- Ungkapan Anies Baswedan untuk Kondang Sutrisno: Selamat Jalan Pejuang