Bedhaya Katawang dan Kidung Kanjeng Ratu Kidul Bersama Panembahan Senapati
- Oktober 28, 2022
- 3:34 pm

SANTRI KERTONYONO – Bedhaya Katawang secara umum tidak jauh berbeda dengan tarian-tarian tradisional Jawa yang kerap di tampilkan pada acara-acara besar dan sakral, seperti pernikahan atau acara-acara kesultanan raja-raja di Mataram, baik di Kasunanan Surakarta maupun di Kesultanan Yogyakarta.
Bedhaya Katawang sendiri berasal dari kata Bedhaya dan Katawang yang masing-masing memiliki makna, Bedhaya berarti penari wisata di istana dan Katawang berarti langit atau identik dengan sesuatu yang tinggi, kemuliaan, dan keluhuran.
Tarian ini merupakan tarian kebesaran yang cukup sering dipertunjukkan saat acara penobatan serta Tingalandalem Jumenengan Sunan Surakarta atau lebih dikenal dengan peringatan kenaikan takhta raja. Bahkan tarian ini dianggap sebagai tarian yang suci karena menyangkut hubungan dengan Sang Pencipta.
Cukup banyak versi yang menceritakan tentang tarian ini, beberapa ada yang menyebutkan bahwa tarian in berawal dari kisah Sultan Agung Hanyakrakusuma yang kala itu tengah memerintah Kesultanan Mataram sedang melakukan laku ritual semedi.
Saat keheningan dalam semedi, sang raja tiba-tiba mendengar suara tetembangan atau senandung dari arah tawang (langit). Karena merasa terkesima dengan senandung itu, sang raja pun langsung memanggil empat pengawalnya yakni Panembahan Purbaya, Kiai Panjang Mas, Pangeran Karang Gayam II, serta Tumenggung Alap-Alap.

Dengan pengalaman ghaibnya inilah, Sultan Agung merasa terilhami dan menceritakan kesaksian batinnya kepada para pengawal. Ia langsung menciptakan sebuah tarian yang kemuidan di beri nama tarian Bedhaya Katawang.
Menurut versi lain, dikisahkan dalam pertapaannya Panembahan Senapati melalukan pertemuan bahkan bercinta dengan Ratu Kencanasari. Ratu Kencanasari inilah yang dikenal dengan sebutan Kanjeng Ratu Kidul, lalu menjadi cikal bakal tarian Bedhaya Katawang ini.
Namun, setelah Perjanjian Giyanti yang terjadi pada tahun 1755, Pakubuwana III dengan Hamengkubuwana I melakukan pembagian harta warisan dari Kasultanan Mataram. Dimana, sebagian wilayah milik Kasunanan Surakarta dan Sebagian lainnya menjadi milik Kesultanan Yogyakarta.
Setelah melalui waktu yang cukup panjang, tarian Bedhaya Katawang ini sah menjadi milik Kasunanan Surakarta. Dalam perkembangannya, hingga saat ini Tarian Bedhaya Katawang masih eksis dipertunjukan saat acara-acara penobatan serta upacara peringatan kenaikan takhta Sunan Surakarta.
Beberapa literatur sejarah banyak yang menyebutkan bahwa tarian ini merupakan gambaran hubungan asmara yang terjalin antara Kanjeng Ratu Kidul dan para raja yang pernah memerintah Mataram. Kisah itu diwujudkan dalam gerak-gerik seluruh tubuh hingga pakaian dan aksesoris yang dikenakan.
Bahkan, kata-kata dan kalimat yang tercantum dalam tembang atau lagu pengiring tarian Bedhaya Katawang konon merupakan sebuah gambaran curahan asmara Kanjeng Ratu Kidul kepada sang raja Mataram. Itulah yang membuat masyarakat percaya, saat tarian ini digelar maka Kanjeng Ratu Kidul akan hadir dan ikut menari.
Kesakralan Bedhaya Katawang
Tarian Bedhaya Katawang umumnya dibawakan oleh sembilan penari, yang dimana dalam mitologi Jawa menggambarkan sembilan arah mata angin yang kala itu dikuasai oleh sembila dewa dengan sebutan Nawasanga. Para penari ini juga mendapatkan status sebagai pegawai Keraton yang biasanya disebut abdi dalem Bhedaya.
Dilansir dari “Jawa-Islam di Masa Kolonial” karya Nancy Florida (2020), tari, iringan musik bahkan kidung-tembang-pujian Bedhaya Katawang merupakan milik Kanjeng Ratu Kidul bersama para suaminya yang tak secara berurut terdiri dari para raja Dinasti Mataram.

Tak sedikit bagi masyarakat Jawa yang meyakini keberadaan Kanjeng Ratu Kidul yang memiliki gelar Kanjeng Ratu Kencanasari ini. Ia menguasai seluruh roh halus di Jawa dari sebuah istana megah yang terletak di dasar Samudra Hindia atau Laut Selatan Jawa.
Dari istana bawah laut inilah, Kanjeng Ratu Kidul ditakdirkan pada “akhir zaman” akan “kawin”, dan berpasangan dengan seorang raja muslim besar dan agung, serta setelahnya akan tetap seperti itu dengan setiap pennerusnya secara berurutan bahkan dengan seluruh raja di akhir zaman.
Menurut tradisi Jawa, perkawinan inilah yang pada akhirnya menentukan kekuasaan raja pada akhir zaman tersebut. Bahkan bisa dipastikan bawah hubungan Kanjeng Ratu Kidul dengan kerajaan Jawa pada periode ini bersifat sangat pokok.
Para raja di “zaman akhir” ini tak lain adalah raja-raja yang pernah memerintah Kerajaan Mataram. Sehingga, sejak dari awal berdiri, kekuasaan raja Mataram secara intim sudah terhubung dengan Kanjeng Ratu Kidul. Meskipun kerajaan Jawa di Indonesia saat ini kian melemah, hubungan tersebut masih berlangsung dalam berbagai bentuk.
Hal itu juga menjadi salah satu alasan pada tarian ini yang selalu mengenakan busana bak busana pengantin Jawa dengan dominasi warna hijau. Hal itu semata-mata untuk kembali mengingatkan bahwa tarian ini milik Kanjeng Ratu Kidul saat menjalin asmara dengan para raja Mataram.
Karena tarian ini sangat sakral, para penarinya pun tidak diambil sebarangan, pasalnya ada syarat yang harus dipenuhi sebelumnya. Penarinya diwajibkan seorang gadis suci yang tidak sedang haid. Namun, apabila sedang haid, maka penari tersebut harus meminta izin terlebih dahulu kepada Kanjeng Ratu Kidul dengan melakukan prosesi caos dhahar di Panggung Sangga Buwana di Keraton Surakarta.
Kondisi suci para penari menjadi hal yang sangat penting dalam pagelaran Bedhaya Katawang ini. Konon, Kanjeng Ratu Kidul akan dating menghampiri para penari, khususnya para penari yang gerakannya masih salah pada saat latihan berlangsung.
Busana yang digunakan oleh para penari disebut dodot ageng atau jugabasahan, merupakan pakaian yang memang dikenakan oleh pengantin perempuan Jawa. Mereka juga akan menggunakan gelung bokor mengkurep dengan ukuran gelungan yag lebih besar jika dibandingkan dengan gelungan gaya Yogyakarta.
Awal Mula Hubungan Ratu Kidul dan Panembahan Senapati
Kisah Kanjeng Ratu Kidul ini bermula saat Kerajaan Mataram masih dipimpin oleh Panembahan Senopati di akhir abad ke-16. Namun, sebelumnya versi cerita ini berasal dari apa yang sering disebut sebagai Babad Surakarta “Mayor”, gubahan sejarah Jawa yang dikembangkan dari korpus besar Babad Tanah Jawi.
Yasadipura I yang konon merupakan pengarang utama dari pujongga Keraton Surakarta ini mengkisahkan bahwa versi kisah asmara Kanjeng Ratu Kidul dan raja pendiri Mataram dalam babad tersebut ternyata mempunyai hubungan langusng dengan kidung-tembang Bedhaya Katawang.
Dikisahkan, Raja pertama Dinasti Mataram yakni Panembahan Senapati kala itu belum menjadi raja saat pertama kali bertemu dengan Ratu Kidul. Sebuah wahyu kerajaan turun kepada Senapati saat ia tengah tidur berbaring di atas batu hitam Lipura yang terletak di dekat Pantai Selatan Jawa.
Panembahan Senapati pun tiba-tiba hanyut dan terbawa aliran Sungai Opak (Kaliopak). Namun, dengan pertolongan raja ikan Tunggulwulung, ia berhasil sampai di Parangtritis tepatnya di pinggir Laut Selatan. Disanalah, sebuah gerbang pintu laut tempat kerajaan Ratu Kidul, Senapati lantas bersemedi.
Namun ternyata semedi yang dilakukan oleh Panembahan Senapati membuat seluruh makhluk laut bergoncang dan mendidih, hampir seluruh ikan dan makhluk laut mati kepanasan. Mengetahui ada yang tidak beres, Ratu Kidul langsung menuju daratan dan mendapati Panembahan Senopati sedang bersemedi di pinggir lautnya.
Bak sudah mengenali calon pasangan hidupnya, Ratu Kidul langsung bersimpuh di kaki Senapati dan memohon agar semedinya segera dihentikan. Sejak saat itu, sang Ratu menyatakan kesetiannya dan menjadikan Senapati tuan atas segala yang dikuasainya sang Ratu.
Pertemuan tersebut berlangsung cukup singkat, tak lama Ratu Kidul membawa Panembahan Senapati pulang ke istana emasnya di kedalaman laut. Di istana itulah, Panembaha Senapati tinggal selama tiga hari belajar ilmu pemerintahan hingga memadu kasih dengan sang Ratu.
Baca juga
- Lahir Rabu Kliwon, Anies Baswedan Masuk Circle Weton Presiden
- Peran Alim Ulama dalam Merekatkan Kembali Kesadaran Berbangsa dan Bernegara
- Makna Lakon Wayang Kulit Bima Suci Buat Anies Baswedan
- Ungkapan Anies Baswedan untuk Kondang Sutrisno: Selamat Jalan Pejuang
- Kisah Unik Wan Sehan di Rumah Anies Baswedan