Bait-Bait Indah, Petuah Jawa-Islam Kental Akan Filosofi Hidup
- Mei 18, 2022
- 9:52 pm

Sebuah petuah atau nasehat memang bukan hal yang baru lagi bagi masyarakat Indonesia khususnya orang Jawa. Petuah-petuah tersebut biasanya kental akan wejangan yang berisikan kalimat-kalimat unik hasil dari ilmu pengetahuan atau pengalaman yang didapat oleh nenek moyang atau leluhur. Dimana, petuah itu diturunkan dari mulut ke mulut sebagai pegangan hidup seseorang.
Secara umum, di tengah-tengah keberagaman masyarakat Indonesia, petuah atau nasehat berkembang sedemikian rupa namun dengan tidak meninggalkan budaya asli leluhur mereka. Banyaknya suku dan ras, tentunya menghasilkan warisan petuah yang kaya akan bahasa dan makna. Meskipun pada hakikatnya sebuah petuah hanya dibedakan oleh bahasanya, namun isi dan maksud yang terkandung tetaplah mengarahkan kepada kebaikan-kebaikan.
Sedangkan bagi masyarakat Jawa khususnya, petuah memiliki tempat yang penting di dalam kehidupan sehari-hari mereka. Setiap langkah kaki dalam mengambil keputusan pun mereka tak luput menimbang-nimbang petuah yang disampaikan oleh orangtua mereka. Tentunya, petuah yang disampaikan pun bukan tanpa arti. Petuah-petuah itu muncul sebagai hasil dari warisan budaya.

Memang sudah dianggap sebagai elemen penting, petuah atau sebuah nasehat seperti memegang kemudinya sendiri. Petuah tak jarang dianggap sakral dan mempunyai jiwa, siapapun yang mengikutinya akan menemukan kesuksesan, namun bagi siapapun yang melanggar atau mengingkarinya cepat atau lambat akan mendapatkan kesengsaraan.
Banyak dari para sesepuh atau orang tua yang dihormati begitu hafal bahkan fasih memberikan petuah-petuahnya kepada orang yang lebih muda. Petuah-petuah itu bak payung dan tongkat, suatu kala sebuah petuah bisa memberikan perlindungan. Ataupun petuah itu bisa menunjukkan jalan kebenaran yang terang agar tak tersesat selama berproses menjadi manusia yang utuh.
Petuah bukanlah sembarang petuah, petuah muncul bukan karena kebetulan atau iseng. Sebelum menginjak masa sekarang, perjalanan sang petuah telah menjajaki banyak fase kehidupan manusia. Masyarakat Jawa percaya petuah merupakan hasil semedi atau perjalanan hidup nenek moyang yang lebih dulu menelan manis dan getirnya kehidupan di masa lalu.
Pelajaran dan ilmu kehidupan yang telah didapat oleh para pendahulu lantas diturunkan ke anak dan cucu-cucu mereka. Petuah itupun mengandung harapan yang tak kecil, mereka-mereka yang telah mendapatkan petuah diharapkan semakin tegap dalam menjalani kehidupan, bisa menebar manfaat dan tak lupa selalu berhati-hati dalam melangkah.
Pentingnya sebuah petuah bagi masyarakat Jawa memang bukanlah hal yang main-main, seolah tahu apa yang akan dihadapi di masa depan. Mereka tak henti-hentinya untuk mengingatkan anak cucunya tentang kehati-hatian. Sekali salah dalam memilih langkah, maka ia akan jatuh. Mungkin seperti itu perumpamaannya. Sebuah petuah akhirnya dianggap sebagai sesuatu yang penting dan tidak boleh terlewatkan.
Sampai saat ini belum banyak yang tahu, siapa yang pertama kali memperkenalkan petuah terlebih petuah yang digunakan sebagai pengaman hidup manusia. Petuah-petuah itu muncul dan mengalir begitu saja, diwarisi oleh generasi ke generasi dan menjadi kewajiban mutlak para orang tua untuk menyampaikannya kepada sang anak cucu.
Meskipun begitu, eksistensi petuah Jawa di tengah gerusan perkembangan teknologi tak sedikitpun mengurangi kesakralannya. Mungkin ada beberapa yang mulai lupa bahkan tak mengamalkannya, tapi bagi warga suku Jawa, sebuah petuah menjadi penting dan bernilai tinggi. Bagi mereka, petuah akan terus dipegang, diamalkan dan di ingat-ingat, agar tak lupa jati diri dan darimana ia berasal.
Bait Indah Petuah Jawa
Kebudayaan Jawa memang kaya dan tak ada habisnya apabila terus dikulik sampai ke akar-akarnya. Semakin di gali akan semakin menarik dengan penemuan-penemuan potongan sejarah baru yang bisa sedikit membuka tabir sejarah masyarakat Jawa di masa lalu. Potongan-potongan sejarah itu tentunya bernilai tinggi bagi para sejarahwan yang haus akan sebuah peradaban.
Sebenarnya banyak sekali potongan sejarah Jawa, bahkan dalam beberapa bidang. Salah satu kekayaan sejarahnya yang hingga kini masih diyakini mayoritas masyarakat Jawa adalah sebuah petuah atau nasehat. Jika diklasifikasikan, petuah ini merupakan warisan budaya dalam bentuk sastra. Beberapa ada yang dituangkan melalui naskah atau serat, dan bahkan diwariskan dari mulut ke mulut.
Tentunya, itu menjadi salah satu faktor utama kenapa sebuah petuah Jawa mampu mempertahankan posisi di jaman serba canggih seperti sekarang ini. Bagi mereka yang mempercayainya, petuah-petuah itu akan diturunkan dan dituturkan kepada generasi yang lebih muda, secara tidak langsung mereka telah mewariskan budaya sastra Jawa di masa lampau.
Sementara, sejak dulu masyarakat suku Jawa memang sangat terkenal mempunyai budaya dan tradisi yang kental. Bahasa Jawa sendiri dianggap khas dan cukup berbeda dengan bahasa yang lain, selain memiliki makna yang cukup luas, bahasa Jawa tak jarang disusun menjadi sebuah bait atau bahkan sebuah nyanyian. Dipercaya memiliki nilai filosofis yang tinggi, kalimat atau frasa dalam bahasa Jawa mempunyai makna yang cukup dalam.
Menurut sebuah jurnal yang berjudul “Kandungan Nilai Moral dalam Ungkapan Tradisional Jawa dan Pepatah Cina” (2012) karya Sri Harti Widyastuti menyebutkan, secara umum masyarakat Jawa memiliki tradisi yang tak lain merupakan konstalisasi dari kearifan lokal yang diturunkan dari sebuah pandangan hidupnya. Tentunya, pandangan hidup masyarakat Jawa tak lepas dari akar budaya dan sejarah bangsa Jawa.
Terlebih, banyak sumber sejarah yang menjelaskan bahwa nenek moyang orang Jawa sebenarnya memiliki latar belakang jiwa estetika yang cukup tinggi. Itu juga menjadi salah satu alasan nenek moyang orang Jawa dianggap sebagai orang yang cerdas. Tidak perlu bingung-bingung mencari bukti, buktinya pun terpampang nyata dan bahkan bisa dinikmati hingga saat ini.
Salah satu bukti yang terlihat adalah warisan sastra yang bisa dilihat dan didengar hingga sekarang. Sedangkan bukti fisik? Nenek moyang Jawa berhasil membangun dinamika kerajaan-kerajaan Jawa Tengah pertama yang kemudian menjadi salah satu aset Indonesia bahkan dunia, apalagi kalau bukan Candi Borobudur. Kecerdasan mereka juga terlihat nyata ketika banyak kerajaan begitu mudah memperluas wilayah kekuasaannya.
Sementara, di bidang sastra sendiri kerap disebut sebagai ungkapan tradisional yang merupakan bagian dari sebuah kearifan lokal. Secara spesifik, ungkapan tradisional dimiliki oleh masing-masing suku dengan etnisnya masing-masing. Penyebutannya pun banyak yang berbeda.
Sebagai salah satu contoh, masyarakat suku Jawa mengenal ungkapan atau petuah tersebut dengan istilah paribasan, bebasan, saloka, serta wangsalan. Namun, ada beberapa yang menyebut cangkriman, parikan, pepindhan, sanepa, panyandra serta isbat. Sedangkan masyarakat Bali memiliki beberapa ungkapan tradisional seperti sesonggan, sesengakan, sesemon, dan sesapan.
Menjadi sebuah nilai yang sangat penting, ketika para generasi muda kembali mempelajari nilai-nilai filosofis serta berbagai pelajaran hidup dari para leluhur tanah Jawa. Dengan begitu, warisan budaya berupa sastra dan petuah ini bisa terus terjaga dan lestari. Petuah-petuah itu bisa menjadi cambuk saat seseorang lupa akan jati dirinya, menjadi bahan renungan, pedoman hidup serta suri tauladan.

Petuah Jawa-Islam yang Sederhana Tapi Penuh Makna
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa masyarakat Jawa memiliki petuah-petuah bijak yang begitu sangat memperlihatkan dimensi batin serta dunia spiritualitasnya. Hal itu menjadi sebuah kecenderungan pada dimensi yang tentunya tidak bisa dipisahkan dari perkembangan agama Hindu-Budha yang lebih dulu ada di tanah Jawa sejak berabad-abad lamanya.
Namun, saat Islam mulai masuk ke Jawa dengan corak khasnya, masyarakat menunjukan sikap terbuka terhadap keyakinan yang dibawa oleh para wali Allah atau tokoh agama yang lain. Dimana, mereka beranggapan bahwa terdapat beberapa titik kesamaan antara Jawa yang sangat menghargai aspek kebatinan dengan agama Islam yang mengajarkan pentingnya menjaga hati serta tingkah laku.
Kamil Hamid Baidawi dalam bukunya yang berjudul “Sejarah Islam di Jawa Menelusuri Geneologi Islam di Jawa” (2020) pernah menjelaskan bahwa pada perkembangan selanjutnya telah terjadi percampuran atau akulturasi antara Islam dan Jawa yang kemudian menggambarkan pandangan hidup orang Jawa dengan Islam.
Dimana, akulturasi antara Jawa dan Islam bisa dilihat dari beberapa petuah dan nasihat-nasihat bijak yang kerapkali disampaikan dalam berbagai kesempatan serta secara terang-terangan di wariskan kepada generasi ke generasi secara turun temurun tentunya.
Sebenarnya petuah Jawa yang merupakan hasil akulturasi dengan Islam tidak sedikit. Petuah-petuah tersebut terbagi dalam beberapa jenis dan makna. Mencakup segala sendi kehidupan manusia, serta kental akan budaya dan makna. Beberapa diantara petuah yang cukup populer seringkali terdengar dari para sesepuh saat menasehati anak dan cucunya, seperti:
“Ajining diri dumunung ana ing lathi, ajining raga ana ing busana”
Kalimat ini bermakna nilai diri terletak di mulut, nilai disk terletak pada pakaian. Secara tidak langsung petuah ini menjelaskan tentang nilai dari diri seseorang. Bahkan cukup ditegaskan apabila nilai diri terletak di bagian mulut. Prinsip petuah tersebut selaras dengan ajaran Islam yang pernah disebutkan dalam sebuah hadits.
Nabi Muhammad SWA bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka katakanlah perkataan yang baik atau jika tidak maka diamlah.” (Muttafaqun ‘alaihi).
Selanjutnya yakni tentang bagaimana cara berpakaian. “ajining raga ana ing busana”, bak seperti peringatan agar selalu menjaga dan menutupi auratnya dengan mengenakan pakaian yang patut dan sopan. Karena ketika seseorang tak peduli dengan apa yang ia pakai atau bahkan mengenakan pakaian yang tidak pantas maka akan mengundang pandangan negatif dari orang lain. Dimana, pandangan negatif itulah yang dianggap sebagai perusak nilai badan.
Baca juga
- Kisah Unik Wan Sehan di Rumah Anies Baswedan
- Ungkapan Anies Baswedan untuk Kondang Sutrisno: Selamat Jalan Pejuang
- Lahir Rabu Kliwon, Anies Baswedan Masuk Circle Weton Presiden
- Makna Lakon Wayang Kulit Bima Suci Buat Anies Baswedan
- Peran Alim Ulama dalam Merekatkan Kembali Kesadaran Berbangsa dan Bernegara