Babad Sengkala, Cerita Raden Fatah yang Menangisi Moksanya Brawijaya

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on linkedin
manuskrip Babad Sengkala
Manuskrip Babad Sêngkala ini berbentuk prosa, berisi informasi sejarah Jawa secara ringkas hingga pertengahan abad ke-18 /Foto: Khasanah Pustaka Nusantara (Khastara), Perpustakaan Nasional

SANTRI KERTONYONO – Kesusasteraan Jawa menyimpan manuskrip atau karya sastra yang memuat peristiwa sejarah kekuasaan di tanah Jawa. Salah satu di antaranya adalah Babad Sengkala yang mengisahkan kehidupan tanah Jawa yang belum tertata baik.

Masyarakat Jawa masih menjalani kehidupan serba sangat sederhana. Hidup orang Jawa masih sepenuhnya mengandalkan benda-benda alam. Peradaban yang sangat sederhana itu perlahan mengalami perubahan signifikan, termasuk pola pikir dan prilaku sosial.

Perubahan tak lepas dari pengaruh orang-orang Hindu yang hijrah ke Jawa. Kehadiran mereka mengajarkan banyak hal, di antaranya bercocok tanam hingga cara berpakaian secara layak.

Babad Sengkala juga mengisahkan riwayat Kerajaan Medangkamulan hingga kedatangan orang-orang Islam ke tanah Jawa. Terceritakan juga adanya pergolakan saat orang Jawa beradaptasi dengan ajaran Islam.

Situasi itu berlanjut hingga masa Kerajaan Majapahit. Di daerah Jawa bagian timur, Kerajaan Majapahit berhasil merengkuh Pulau Madura, Pulau Percah, serta sepanjang pesisir selatan dan sebelah barat Pulau Burni.

Pada masa Majapahit, kemaritiman berkembang pesat. Banyak kapal-kapal besar dengan barang dagangan dan prajurit melempar sauh di dermaga. Pelabuhan ramai oleh tamu asing dari berbagai negara beserta upetinya.

Taufiq Hakim dalam buku “Syeikh Siti Jenar dan Pemberontakan Mistiknya” (2020), menyebut, ramainya kota pelabuhan di Jawa tak lepas dari campur tangan Prabu Brawijaya V. Brawijaya memakmurkan pembangunan tempat-tempat peribadatan seperti candi, kuil, bahkan masjid.

Raden Fatah dan Majapahit

Saat Islam masuk di tanah Jawa, Babad Sengkala juga menuliskan bagaimana besarnya wilayah kekuasaan Raden Fatah di Demak Bintara. Kebesaran Raden Fatah membuat khawatir Prabu Brawijaya.

Kebesaran Demak sebagai kerajaan Islam dkikhawatirkan akan mengancam Majapahit. Kekhawatiran Brawijaya sebenarnya beralasan. Ia telah lama mengamati pola penyebaran Islam di berbagai penjuru Jawa. Brawijaya juga mengetahui karakteristik masing-masing wali yang menjadi pemukanya.

Untuk memastikan itu Brawijaya mengutus Adipati Terung atau Pecatandha ke Demak. Sekembali dari Demak, Adipati Terung menjelaskan kepada Brawijaya bahwa Raden Fatah adalah putra Brawijaya sendiri dari selir Cina.

Tahu itu Brawijaya memerintahkan Raden Fatah menghadap ke Majapahit. Layaknya anak yang pulang ke rumah orang tuanya, Raden Fatah mendapat banyak wejangan hidup bahkan hadiah, mulai dari gajah, kuda, hingga kereta.

“Raden Fatah diserang rasa gundah, disatu sisi ia ingin menyerang Kerajaan Majapahit dan meng-islam-kan seluruh elemen-elemennya, tapi disisi lain sang Prabu Brawijaya adalah ayah kandungnya sendiri.”

Di tengah-tengah kebimbangannya, Fatah berkunjung ke Ampel Denta untuk meminta nasihat. Mendengar keluh kesah Raden Fatah, Sunan Ampel mengisyaratkan penolakan.

Sunan Ampel menilai selama ini Majapahit tak pernah mengusik atau bahkan mempersulit penyebaran Islam di Jawa. Seiring berjalannya waktu, Demak akhirnya tetap menyerang Majapahit.

Perang antara anak dan orangtua itu tak bisa dihindarkan. Pasukan Demak berhasil mengepung keraton Majapahit. Babad Sengkala menyebut Brawijaya tiba-tiba sirna. Lenyapnya raga itu didahului nyala api di dalam keraton serta diiringi gemuruh suara petir. Pasukan  Demak yang berhasil menerobos masuk keraton tak menemukan Brawijaya.

Raden Fatah hanya melihat sosok Ratu Dwarawati, sang ayahanda lenyap. Raden Fatah menangis, perasaan campur aduk menyelimuti hatinya. Namun kendati demikina kerajaan Majapahit berhasil ditundukkan

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on linkedin

SERING DIBACA

IKUTI KAMI