Amar Ma’ruf Sunan Kuning Membuat Pengikut Majapahit Hijrah ke Islam
- Desember 30, 2021
- 8:24 am

Kiai Zainal Abidin atau Sunan Kuning berhenti melangkah. Ia tengah berada di wilayah Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur yang saat itu masih bernama Kadipaten Bonorowo. Dalam istirahatnya Mbah Zainal Abidin melihat hutan membentang luas. Hewan buas masih berkeliaran di mana-mana. Ia juga melihat sebagian besar masyarakat masih memegang teguh tradisi serta keyakinan peninggalan Kerajaan Majapahit.
“Tulungagung berdekatan dengan Kediri. Dan Majapahit di masa akhirnya sempat berpusat di Kediri,” demikian cerita yang berkembang. Kiai Zainal Abidin atau Mbah Zainal Abidin berasal dari Brang Kulon atau Jawa Tengah. Seorang ulama yang menguasai keislaman secara kaffah. Mbah Zainal mumpuni soal ilmu tafsir Al –Qur’an, menguasai hadist dengan baik, serta piawai dalam mengulas kitab kuning. Mbah Zainal sedang berada di wilayah yang kelak bernama Desa Macanbang (Kecamatan Gondang).
Bersama muridnya (santri), ia berhenti untuk melepas penat. Mbah Zainal menyaksikan pohon besar dan sebongkah batu yang dikeramatkan. Warga memujanya. Ia juga melihat sejumlah tempat dipercaya sebagai lokasi wingit (angker) yang bisa mencelakai kehidupan manusia. Agar balak (bencana) tak datang, warga rutin melimpahinya dengan upacara sesembahan (ritual). Menyentuh minuman keras dan menyantap daging hewan bertaring, hal yang biasa.

“Mbah Zainal menyaksikan fenomena praktik anismisme dan dinamisme yang masih berkembang pesat di masyarakat”. Kawasan Macanbang konon dikenal sebagai kawasan angker. Tidak sembarang warga di Kadipaten Bonorowo yang cukup bernyali memasuki kawasan Macanbang. Saking angkernya sampai-sampai orang Jawa memiliki ujaran : Jalma mara, jalma mati. Yakni siapa yang berani datang, akan mati.
Kematian yang bukan saja disebabkan hewan buas. Tapi juga oleh penghuni Macanbang yang kurang menyukai setiap kehadiran orang asing. Melihat situasi seperti itu, Mbah Zainal justru berminat menetap. Babad Tulungagung terbitan Pemkab Tulungagung menuliskan, kedatangan Mbah Zainal Abidin atau Sunan Kuning di Kadipaten Bonorowo berlangsung tahun 1727. Ia seketika merasa terpanggil untuk mengenalkan Islam.
“Hati Sunan Kuning terpacu untuk meluruskan,” tutur Kiai Suud salah satu pengasuh Pondok Pesantren Al Fatah Tulungagung seperti dikutip dari berbagai sumber. Tidak langsung berjalan mulus. Masyarakat yang memiliki akar keyakinan kuat, tidak bisa serta merta bisa menerima ajaran yang dibawa Mbah Zainal. Bahkan tidak sedikit yang menentangnya. Mbah Zainal tidak bergeming. Meskipun cibiran menghujani bertubi-tubi, ia tetap terus berikhtiar.
Dari berbagai cerita tutur, penentangan dari masyarakat setempat berlangsung keras. Tidak hanya lewat cibir, tapi juga gangguan fisik. Mbah Zainal menanggapinya dengan sabar. Ia tetap santun, dan lebih banyak mempraktikkan prinsip uswatun hasanah. Secara tidak langsung memberi contoh dengan perbuatan, prilaku, tindak tanduk sehari-hari. Ibarat tetes air yang mampu melubangi kerasnya cadas. Hati para penentangnya lama-kelamaan luluh.
Mereka penasaran apa itu Islam. Apa itu agama rahmatan lil alamin, yang disampaikan datang untuk membawa rahmat bagi sesama. Dari semula hanya ingin tahu dan mengenal, satu persatu warga akhirnya hijrah menjadi pemeluk Islam. Mbah Zainal menerapkan metode merangkul. Pendekatanya lembut. Mengedepankan amar ma’ruf, dan tidak serta merta menghakimi mereka yang dianggap menyimpang. Warga yang hijrah ke Islam semakin lama semakin banyak.
“Mbah Zainal kemudian mendirikan sebuah masjid di Macanbang untuk salat berjamaah sekaligus untuk mereka yang ingin mendalami Islam”. Masjid yang berdiri tetap njawani . Arsitektur masjid tidak menghilangkan ciri khas bangunan Jawa. Bentuknya joglo serupa masjid Demak yang didirikan para wali. Mbak Zainal tidak menempatkan kubah maupun menara, melainkan memilih gaya meru bersusun ganjil sebagaimana gaya arsitektur era Majapahit.
Santri Mbah Kasan Besari Ponorogo
Konon, di sekitar masjid dulunya terdapat kubahan batu besar yang bentuknya menyerupai kolam. Adanya kolam air diduga mengikuti tradisi candi pemujaan yang di sekitarnya selalu ada kolam patirtan sebagai tempat bersuci mereka yang hendak memasuki candi. Pada sisi luar masjid berdiri tembok pagar pembatas yang tersusun dari batu bata kuno. Tembok batu bata kuno itu setinggi 1,5 meter, panjang 55 meter dan lebar 45 meter.
Di bagian dalam terdapat sebuah mimbar untuk khotbah, kayu dampar untuk mengaji (tadarus), kentongan serta bedug kuno. Semuanya diduga peninggalan Mbah Zainal Abidin. Penentangan terhadap Islam di Kadipaten Bonorowo berangsur-angsur berkurang bahkan pada akhirnya menghilang. Warga bersedia menerima Islam dengan tangan terbuka dan lapang dada. Mereka menganggap Islam datang bukan sebagai ancaman.
“Pada saat itu Islam di wilayah Kadipaten Bonorowo telah berkembang cukup kuat dengan Sunan Kuning sebagai salah satu tokoh ulamanya,” demikian sumber tutur menyebutkan. Mbah Zainal atau Sunan Kuning merupakan murid Kiai Muhammad Kasan Besari, Jetis, Ponorogo. Ia nyantri kepada Mbah Kasan Besari sejak muda. Tidak banyak sumber yang merinci asal Mbah Zainal Abidini, kecuali dari Jawa Tengah.
Juga tidak ada yang menjelaskan sebutan Sunan Kuning. “Apakah sebutan itu merujuk pada warna kulit Mbah Zainal yang kuning, sampai saat ini belum ada sumber yang menyebutkan secara jelas,” demikian pertanyaan yang kerap muncul. Mbah Zainal Abidin dikenal sebagai santri yang mumpuni. Semua wejangan Mbah Kasan Besari mampu ia serap dengan baik. Zainal Abidin menguasai Islam secara kaffah.
Hingga pada suatu hari, Mbah Zainal mendapat amanah dari gurunya (Mbah Kasan Besari) untuk menyebarkan Islam di wilayah Tulungagung, Blitar dan Kediri. Ketiga wilayah tersebut secara geografis berdekatan. Pengaruh Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Kediri yang meskipun sudah runtuh oleh munculnya Kerajaan Demak, berlanjut Kerajaan Pajang, dan Kerajaan Mataram Islam, masih demikian kuat. Di ketiga wilayah tersebut , Islam belum berkembang luas.
Sebagian besar masyarakat masih memegang keyakinan dan tradisi lama. Jejak cerita Mbah Zainal Abidin atau Sunan Kuning dalam menyebarkan Islam juga ditemukan di wilayah Blitar. Konon, nama Desa Kuningan, Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar memiliki hubungan erat dengan kehadiran Sunan Kuning. “Ada versi yang menyebutkan, nama Desa Kuningan merujuk dari Sunan Kuning yang pernah menyebarkan Islam di Kanigoro,” tutur Doni warga Kanigoro yang aktif menyusuri jejak Islam Jawa di Blitar.
Mbah Zainal Abidin mangkat. Lagi-lagi tidak banyak sumber menyebutkan angka tahun, kapan Sunan Kuning tutup usia. Makam Mbah Zainal atau Sunan Kuning berada di belakang masjid Macanbang, Kecamatan Gondang, Kabupaten Tulungagung. Pesarean Sunan Kuning berada di dalam cungkup, di mana setiap peziarah yang masuk harus membungkukkan badan. Terutama pada malam Jumat Legi atau 1 Suro, banyak peziarah yang berdoa di depan pusara Sunan Kuning.
Baca juga
- Lahir Rabu Kliwon, Anies Baswedan Masuk Circle Weton Presiden
- Kisah Unik Wan Sehan di Rumah Anies Baswedan
- Ungkapan Anies Baswedan untuk Kondang Sutrisno: Selamat Jalan Pejuang
- Peran Alim Ulama dalam Merekatkan Kembali Kesadaran Berbangsa dan Bernegara
- Makna Lakon Wayang Kulit Bima Suci Buat Anies Baswedan