Ajaran Sangkan Paraning Dumadi , Pedoman Wali Tanah Jawa Jalani Kehidupan

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on linkedin
filosofi orang jawa, angkan Paraning Dumadi , Pedoman Wali Tanah Jawa, memayu hayuning bawana
Bagi masyarakat Jawa, sangkan paraning dumadi adalah sebuah perjalanan besar dari Allah dan menuju Allah/ Foto: lifepal.co.id

SANTRI KERTONYONO – Orang Jawa memiliki prinsip hidup “sangkan paraning dumadi”. Sebuah pedoman yang mempertanyakan diri sendiri: apa yang  menjadi tujuan hidup manusia Jawa di dunia?.

Dumadi  berasal dari kata dadi,  yang bemakna di-‘ada’-kan atau di-‘jadi’-kan. Hal itu merujuk pada keberadaan manusia di muka bumi yang bersifat sementara. Dengan kalimat lain, orang Jawa menyebut “urip mung mampir ngombe”.

Orang Jawa meyakini, eksistensi sebagai manusia di muka bumi hanya semata menunaikan titah Yang Maha Kuasa. Setiap orang Jawa diharapkan mengerti sekaligus memahami dari mana asalnya, yakni sangkan atau sangka ngendi.

Lalu diharapkan juga mengerti ke mana tujuan hidup ini atau paran atau parane ngendi . Sangkan paraning dumadi  secara utuh bermakna asal dan tujuan tempat kembalinya manusia. Konsep hidup orang Jawa itu selaras dengan Islam yakni innalillahi wa inna ilaihi raji’un , yang berarti kita berasal dari-Nya dan kembali pada-Nya.

“Bagi masyarakat Jawa, sangkan paraning dumadi adalah sebuah perjalanan besar dari Allah dan menuju Allah. Sebuah perjalanan manusia sejak ia masih dalam kandungan hingga menuju kematian,” ujar Irfan Afifi dalam buku Saya, Jawa, dan Islam.

Istilah “perjalanan” inilah yang dahulu juga dipakai para wali tanah Jawa. Mereka menyebutnya sebagai laku, mlaku, lelaku, lelakon, yang berarti perjalanan. Para wali memperkenalkan istilah itu melalui suluk dengan bahasa Islam dan kata kunci dalam tasawuf.

Falsafah Tradisional Jawa

Gagasan sangkan paraning dumadi tidak berdiri sendiri. Ada beberapa falsafah tradisional jawa yang mengikutinya, termasuk ditemukan konteks Islam di dalamnya.

Yang pertama yakni Memayu hayuning bawana, ambrasta dur hangkara, berarti senantiasa menebar kebaikan untuk kemakmuran dunia dan selalu memberantas sifat angkara murka. Dalam Islam konteks ini dikenal dengan Rahmatan lil alamin dan Amar makruf nahi munkar.

Selanjutnya ada Urip iku urup atau hidup hendaklah bisa menjadi penerang (manfaat) bagi orang di sekitar. Dalam Islam dikenal dengan Khairunnas anfa’uhum linnas, yang berarti sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi orang lain.

Sangkan Paraning Dumadi dalam filosofi Kejawen mengajarkan bahwa tujuan akhir dari kehidupan manusia adalah hanya untuk kembali kepada Tuhan Yang Maha Esa,” ungkap Rindang Ayu dilansir dari Kompasiana.com.

Sementara, ajaran sangkan paraning dumadi yang tercantum dalam naskah Kunci Swarga Miftahul Djanati sangat identik dengan ajaran tasawuf. Manusia hanya akan berupaya untuk mendekat atau bahkan menyatu dengan Tuhan Yang Maha Esa atau Wihdat al-wujud atau Manunggaling kawula Gusti.

Realitas itu menegaskan betapa kuatnya ajaran tasawuf dengan spiritualisme Jawa. Utamanya gagasan sangkan paraning dumadi dalam naskah Kunci Swarga Miftahul Djanati.

Perjalanan manusia di muka bumi juga diibaratkan drama dalam pentas pewayangan dengan lakon tertentu. Jasmani yang selalu melakukan perjalanan ragawi dan rohani yang melakukan perjalanan roh atau bathin.

Dalam ngelmu Kejawen, sangkan paraning dumadi merupakan ngelmu kasampurnaan. Ilmu dalam bentuk ini biasanya di peroleh melalui perjalanan prihatin yang tinggi atau riyadloh. Dalam Serat Wirid, yakni kitab penganut mistik Kejawen, ditemukan istilah turunan sangkan paraning dumadi.

Yakni asaling dumadi yang bermakna suatu wujud, tataraning dumadi yang berarti martabat suatu wujud dan paraning dumadi yang berarti arah atau perkembangan dari wujud tersebut.

“Gagasan Paraning Dumadi atau tujuan hidup memiliki gambaran berupa hitungan angka, yang masing-masing dari angka tersebut memiliki makna dan tujuan,” tulis Yuni Handayani dalam Tesis Jiwa Setelah Mati: Dalam Sangkan Paraning Dumadi

Angka tersebut dimulai dari eka padma sari yang berarti mulai turunnya bakal hidup. Kemudian dwi maratani  yang bermakna rasa mengenai hati dan sanubari, tri kawula busana berarti adanya pembentukan badan, wanara rukem berarti lahir, dan panca sura panggah berarti menginjak dewasa.

“Juga sad guna weweke berarti masa tua yang selalu berhati-hati, harsa kukila warsa berarti usia yang sangat tau, dan nawa angga lupa yang bermakna kosong atau menunggu kematian”.

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on linkedin

SERING DIBACA

IKUTI KAMI